Senin, 30 April 2012 0 komentar

Pelatihan Seni Pemecahan Masalah UAN & Matematika Olimpiade

Sorry, I could not read the content fromt this page.Sorry, I could not read the content fromt this page.

View the original article here

Minggu, 29 April 2012 0 komentar

Telah Terbit E-Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris_Edisi Percobaan

Telah terbit E-Jurnal Infodiknas.com – Prodi Pendidikan Bahasa Inggris

Terbitan E-Jurnal Infodiknas.com untuk Prodi Pendidikan Bahasa Inggris ini merupakan Edisi Percobaan. Sebagai edisi percobaan maka edisi ini masih akan dilakukan penyusunan pedoman terstandar sehingga layak sebagai E-Jurnal. Oleh sebab itu masukan dari segenap netter sangat membantu kami untuk melakukan penyempurnaan E-Jurnal ini.

Selain itu, bahwa terbitan ini dimaksudkan sebagai dasar untuk mengajukan legalitas dari pemerintah (issn), sehingga kehadirannya betul-betul bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Saran bisa dikirim via e-mail infodiknas@yahoo.com.

Terima kasih

Pengelola

Rulam Ahmadi


View the original article here

Sabtu, 28 April 2012 0 komentar

Budaya Belajar Mandiri dan Pembelajaran Bahasa Inggris, Suatu Harapan dalam Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Oleh Konder Manurung (FKIP Universitas Tadulako Palu).

The present paper investigates whether autonomous learning can improve Indonesian learners’ proficiency in English. The favorable characteristics of autonomous learning are used as the basis for (1) arguing against the assumption that Asian learners are dependent on their teachers and (2) arguing for its adoption in improving Indonesian college graduates’ proficiency in English. The paper also discusses how to incorporate autonomous learning in a competency-based curriculum.

1 PENDAHULUAN

Isu yang berkembang dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah bahwa lulusan Perguruan Tinggi (PT) mempunyai kemampuan yang terbatas dalam berbahasa Inggris. Keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris lulusan PT dianggap sebagai akibat dari kurang berhasilnya pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah menengah, khususnya pada sekolah menengah negeri (Sadtono, dalam Grow 1987). Grow menandaskan bahwa ketidakberhasilan pengajaran bahasa Inggris pada sekolah menengah ini diakibatkan penekanan yang diberikan bukan pada fungsi komunikatif akan tetapi pada penguasaan struktur gramatikal dan membaca. Pemerintah Indonesia telah berusaha memperbaiki kualitas pembelajaran pada sekolah menengah dengan mengadakan perubahan pada kurikulum dan metode pengajaran dari mulai pendekatan konvensional hingga diterapkannya pendekatan komunikatif, kontekstual, dan saat ini kurikulum berbasis kompetensi. Untuk PT, selain mengadakan pergantian kurikulum, pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap perbaikan proses pengajaran bahasa Inggris. Salah satu cara yang dilakukan dalam rangka meningkatkan layanan dalam bahasa Inggris pada PT adalah lewat proyek yang dinamai “Asian Development Bank Higher Education Project (ADB HEP) Package-3 Language specialist.” Proyek ini ditangani oleh British Council-Jakarta dan berlangsung selama tiga tahun (1997-1999). Lewat proyek ini sebelas universitas di kawasan timur Indonesia mendapatkan seorang languagespecialist (Language Advisor). Proyek ini telah berhasil memperkenalkan sarana belajar mandiri pada paling sedikit sebelas PT yang termasuk dalam proyek ADB HEP Package-3. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah Apakah sistem belajar mandiri dapat diterapkan di negara Indonesia? Apakah pelajar Indonesia telah mengetahui strategi belajar yang efektif yang dapat digunakan dalam sarana belajar mandiri? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting karena pelajar di Indonesia telah terbiasa belajar di dalam kelas di mana seorang guru menyampaikan isi pelajaran dan bahkan seorang guru sering dianggap sebagai satu-satunya sumber pelajaran. Dengan kata lain, ketergantungan pelajar terhadap guru masih relatif tinggi.

2 SARANA BELAJAR MANDIRI

Sarana belajar mandiri atau yang lebih populer dengan sebutan Self-Access Centre (SAC) telah berhasil memasuki sistem pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. SAC didirikan untuk memungkinkan pelajar dapat belajar mandiri baik secara individu maupun berkelompok. Di dalam SAC pelajar dapat memilih sendiri materi pelajaran yang ingin didalami, materi yang dapat menunjang pemahaman terhadap

materi pelajaran pada saat tatap muka, dan materi yang tidak secara langsung memenuhi kebutuhan individu pelajar pada saat tatap muka. SAC dapat diterima dalam sistem pendidikan secara umum atas dasar bahwa pelajar adalah individu yang memiliki kebutuhan, minat, dan tipe yang berbeda-beda. Dasar ini telah dibuat sebagai acuan dalam pengembangan serta mendesain materi pelajaran yang digunakan di dalam SAC. Materi pelajaran dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna yang berbeda baik dari segi latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, cara belajar, dll. Lebih penting lagi bahwa materi pelajaran yang dikembangkan, baik latihan maupun aktifitas lainnya, disusun dan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara individu, dan pengguna dapat secara langsung mengukur tingkat keberhasilannya. Pengukuran dimaksud dapat dilakukan dengan membandingkan secara langsung hasil pekerjaan dengan kunci jawaban yang tersedia pada masing-masing latihan atau kegiatan.

Agar materi pelajaran dalam sarana belajar mandiri dapat berfungsi dengan efektif, Sheerin (1989) memberikan beberapa saran dalam pengembangan dan desain materi untuk digunakan di dalam SAC. Saran ini meliputi; 1) Tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas dalam materi yang dikembangkan atau didesain bermanfaat untuk memberikan gambaran yang jelas kepada pengguna, apakah materi tersebut dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak, 2) Instruksi yang jelas. Kejelasan dalam memformulasikan instruksi membantu pengguna materi di dalam SAC untuk memilih materi yang sesuai dengan tingkat pemahamannya. Instruksi yang jelas sebaiknya diikuti dengan contoh untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang latihan atau aktifitas yang dikerjakan, 3) Tampilan yang menarik. Materi yang dirancang untuk digunakan dalam SAC harus menarik. Tampilan materi sebaiknya dapat mengundang perhatian pengguna yang membangkitkan rasa percaya diri dalam menggunakannya, 4) Latihan/kegiatan yang bermanfaat. Latihan/kegiatan dalam SAC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna, 5) Prosedur. Prosedur dalam mengerjakan kegiatan yang dirancang harus mempertimbangkan bahwa sasaran dalam pengadaan SAC adalah untuk membiasakan pengguna lebih mandiri, dengan demikian ada baiknya diberi kesempatan kepada pengguna untuk menerapkan cara belajar sendiri, 6) Umpan balik. Pada saat belajar di dalam SAC, pada dasarnya guru tidak selalu berada di SAC. Oleh sebab itu, umpan balik sebaiknya terdapat dalam materi yang dirancang. Umpan balik dimaksud dapat berupa kunci jawaban terhadap kagiatan-kegiatan/latihan-latihan yang dirancang, sedangkan jika materi yang dirancang adalah untuk latihan mendengar maka transkrip/teks harus tersedia, 7) Materi yang seimbang. Dalam merencanakan materi harus dipertimbangkan keseimbangan terhadap materi, mulai dari tingkat kemampuan hingga kebutuhan pengguna. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa sebaik apapun materi yang telah direncanakan, apabila SAC diperkenalkan untuk pertama sekali, perlu ada sosialisasi dan pengenalan awal terhadap penggunaan materi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

3 TINJAUAN TERHADAP HASIL BEBERAPA STUDI IHWAL

SARANA BELAJAR MANDIRI

Ada anggapan yang mengatakan bahwa “pelajar Asia” sangat tergantung kepada “guru” (Liu, dalam Littlewood 2000). Ada kecenderungan menganggap guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Pendapat ini mengindikasikan bahwa akan sulit bagi pelajar Asia untuk belajar tanpa kehadiran seorang guru, yang berarti juga bahwa akan ada kesulitan dalam memperkenalkan sistem belajar mandiri kepada sekolah-sekolah di Asia. Littlewood (2000) secara tegas mengatakan bahwa berdasarkan data yang diperoleh lewat kuesioner yang dibagikan kepada pelajar di Asia dan Eropa, sesungguhnya pelajar Asia tidak ingin dimemeh. Littlewood menambahkan pelajar Asia juga mau mencari sendiri ilmu pengetahuan dan ingin juga mencari sendiri jawaban terhadap keingintahuan mereka. Hasil kuesioner ini didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di lingkungan Asia, khususnya pada institusi dimana sarana belajar mandiri telah ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelajar Asia juga dapat meningkatkan kemampuan dalam bahasa Inggris setelah belajar bahasa Inggris diintegrasikan dengan penggunaan sarana belajar mandiri secara efektif.

Keberhasilan penggunaan sarana belajar mandiri secara efektif sebagai pendukung proses belajar mengajar telah nyata di Asia dengan semakin banyak institusi pemerintah maupun swasta mendirikan sarana belajar mandiri. Dewasa ini sarana belajar mandiri telah ditemukan baik di lingkungan sekolah dasar, menengah, maupun PT di Asia (Lihat Miller dan Gardner 1999, dalam Establishing self-access centre: From theory to practice). Dalam buku ini Miller dan Gardner menggambarkan secara detail hasil studi kasus dalam

pengadaan sarana belajar mandiri mulai dari tingkat sekolah dasar hingga PT di Malaysia dan Hong Kong. Miller dan Gardner menandaskan secara umum bahwa tujuan pengadaan sarana belajar mandiri adalah untuk memberikan kesempatan belajar secara mandiri di samping tatap muka yang berlangsung di dalam kelas, dan membuat cara belajar bahasa Inggris lebih menarik. Lebih jauh dikatakan bahwa sarana belajar mandiri akan memotivasi minat belajar, memungkinkan pelajar belajar sesuai kemampuan dan minat tanpa ada unsur paksaan. Miller dan Gardner memberikan gambaran dalam bentuk studi kasus terhadap berdirinya SAC dari tingkat sekolah dasar hingga PT. Alasan pendirian SAC pada sekolah dasar adalah supaya pelajar dapat belajar sendiri di samping tatap muka di dalam kelas. Kegiatan belajar mandiri dianggap sebagai pelengkap terhadap tatap muka yang dilakukan di dalam kelas. Pada tingkat ini materi difokuskan pada pengadaan permainan dan gambar-gambar yang dapat memotivasi atau menarik perhatian pelajar. SAC digunakan setiap hari, dan pengajar membawa pelajar ke dalam SAC sesuai dengan jadwal pelajaran bahasa Inggris. Dengan menggunakan SAC secara reguler hubungan guru dengan pelajar semakin akrab dan dapat mempengaruhi cara belajar. Pada

tingkatan ini kontrak terhadap materi pelajaran sudah dilakukan, yakni kontrak per bulan. Dengan kontrak yang disepakati, guru dapat mengetahui materi yang diinginkan pelajar yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penyusunan materi untuk digunakan di SAC. Pada sekolah menengah SAC didirikan dengan tujuan untuk memberikan sumber belajar yang efektif dalam belajar bahasa Inggris serta memudahkan pelajar belajar sesuai dengan kemampuan dan minat dalam suasana yang lebih bebas. Di samping itu SAC juga bertujuan untuk memperkenalkan konsep belajar secara otomoni dalam meningkatkan profisiensi dalam bahasa Inggris. Pada tingkat PT, SAC bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan bahasa yang dituntut pada bidang ilmu yang ditekuni mahasiswa dan staf. SAC bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing mahasiswa yang ingin belajar secara fleksibel, baik untuk lebih mendalami bidang ilmu yang ditekuni yang menggunakan teks bahasa Inggris, maupun untuk meningkatkan keahliannya dalam berbahasa Inggris untuk tujuan tertentu, misalnya bagi staf yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa penelitian lain juga telah diadakan untuk mencoba melihat kontribusi yang diberikan SAC dalam belajar bahasa Inggris di Asia. Colley (1993) menggambarkan keberhasilannya dalam menerapkan “study guides” sebagai satu pendekatan dalam belajar di dalam sarana belajar mandiri pada universitas di Hong Kong, sementara Yeung dan Hyland (1999) menjadikan sarana belajar mandiri sebagai satu komponen dalam pengajaran bahasa Inggris. Kedua penelitian yang dilakukan di Hong Kong ini menegaskan bahwa dengan menggunakan sarana belajar mandiri sebagai supplemen terhadap tatap muka, kemampuan berbahasa Inggris pelajar meningkat. Hayward (dalam Gardner 1994) mengadakan penelitian secara lebih khusus terhadap kemampuan menulis dalam bahasa Inggris dengan menggunakan sarana belajar mandiri. Asumsi yang didasarkan pada penelitian ini adalah penutur asli Bahasa Inggris saja mengalami kesulitan menulis dalam bahasa Inggris, apalagi mereka yang bukan penutur asli. Hayward menyimpulkan bahwa penggunaan sarana belajar mandiri sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Kel dan Newton (1997) mencoba memperkenalkan SAC dengan mencobakan “pathways” dalam memotivasi pelajar untuk menggunakan SAC di Cina. Mereka mencobakan empat pathways yang diintegrasikan dengan pengajaran bahasa Inggris. Pada akhir penelitian mereka menyimpulkan bahwa pathways dapat memenuhi keinginan pelajar yang berbeda. Bagi pelajar dengan kemampuan rendah, pathways merupakan sebuah peta, bagi pelajar yang kurang percaya diri, pathways merupakan batu loncatan, dan bagi pelajar yang mampu, pathways menjadi penyegar dalam belajar bahasa Inggris. Yeung dan Hyland (1999), mencoba meneliti pengaruh penerapan SAC diintegrasikan dengan kegiatan pada proses belajar mengajar. Penelitian berlangsung selama satu semester dan dilanjutkan dengan interviu terhadap mahasiswa yang menggunakan SAC selama satu tahun setelah program penelitian selesai. Hasil interviu menunjukkan bahwa dengan belajar di SAC mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris umum (General English). Mahasiswa juga menyatakan bahwa materi pelajaran di SAC relatif lebih menarik dibandingkan materi pelajaran yang digunakan di dalam kelas, dan belajar di dalam SAC relatif lebih menarik dibandingkan dengan belajar di dalam kelas biasa.

Penelitian di dalam SAC juga sudah diadakan di tingkat PT di Indonesia pada pengajaran bahasa Inggris sebagai MKU (Manurung 2002). Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada dua temuan penelitian sebelumnya; pertama, yang menyatakan bahwa strategi belajar yang efektif dalam belajar bahasa dapat diajarkan kepada pelajar bahasa yang kurang berhasil (Oxford 1990), dan pelajar perlu mengetahui bagaimana cara belajar dengan melaksanakan pelatihan (Or 1994; Martyn 1994, dalam Yeung dan Hyland 1999), dan kedua, ditemukan beberapa strategi belajar bahasa Inggris yang efektif yang dilakukan mahasiswa ketika mempelajari bahasa Inggris pada salah satu pusat bahasa dalam lingkungan universitas di Indonesia (Setiyadi 1999). Sampel penelitian adalah 126 mahasiswa yang memprogramkan MKU bahasa Inggris. Mahasiswa dibagi ke dalam dua kelompok, satu kelompok dinamakan kelompok eksperimen dan yang satu lagi kelompok kontrol. Kepada kelompok eksprimen diperkenalkan strategi belajar yang efektif, setelah pretest diadakan, dengan menggunakan informed technique (Oxford 1990). Setelah strategi belajar diperkenalkan kepada kelompok eksperimen, kedua kelompok ditugaskan untuk belajar secara mandiri di dalam SAC selama 8 minggu. Pada akhir program keempat kemampuan berbahasa, mendengar, berbicara, membaca dan menulis diukur dengan menggunakan test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok eksperimen menunjukkan hasil yang lebih baik secara signifikan pada keempat kemampuan berbahasa. Dengan mengacu pada hasil beberapa penelitian seperti telah diutarakan di atas, maka jelas terlihat bahwa ada kontribusi positif dalam peningkatan kemampuan berbahasa jika sarana belajar mandiri digunakan dengan efektif sebagai komponen dalam proses pengajaran. Kemampuan ini dapat dilihat dari segi kebutuhan dan minat yang dimiliki pengguna. Dengan kata lain, pada saat berada di dalam SAC pada dasarnya pengguna memilih bahan yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhannya. Hal ini akan menyebabkan timbulnya motivasi untuk belajar, karena pengguna dapat menerapkan atau mengaplikasikan secara langsung apa yang telah dipelajari.

4 SARANA BELAJAR MANDIRI DAN PENERAPAN KBK

Salah satu yang menjadi dasar diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah bahwa pada akhir setiap pelajaran pelajar memiliki kompetensi, yang dapat diukur dengan kecakapan yang dimiliki setelah proses belajar mengajar berakhir. Jika dilihat kebijakan pemerintah Republik Indonesia lewat Departemen Pendidikan Nasional yang memberlakukan KBK sejak tahun 2004, maka sudah sebaiknya sarana belajar mandiri dijadikan satu komponen dalam pengajaran bahasa Inggris. Kompetensi dasar atau kecakapan yang dituntut akan bahasa Inggris atau kompetensi yang ditargetkan seperti yang diharapkan kurikulum KBK akan sulit tercapai jika jam tatap muka masih tetap dipertahankan seperti pada kurikulum sebelumnya. Dengan kata lain, jam tatap muka sudah sebaiknya ditambah. Namun hal ini akan menimbulkan masalah karena jam tatap muka telah diatur sesuai dengan mata pelajaran pada sekolah menengah dan berdasarkan jumlah kredit atau beban SKS pada PT.

Solusi alternatif yang dapat ditawarkan adalah mengintegrasikan sistem belajar mandiri pada proses belajar mengajar. Jika penilian akhir ditekankan sepenuhnya terhadap pencapaian kompetensi dasar bahasa Inggris atau kecapakan berbahasa Inggris, maka jam tatap muka yang saat ini sedang diberlakukan dalam lingkungan PT pada mata kuliah Bahasa Inggris sudah sebaiknya ditambah dengan mengefektifkan penggunaan sarana belajar mandiri dua hingga tiga jam per minggu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada dasarnya mahasiswa yang masuk PT kemampuan bahasa Inggrisnya cukup rendah. Jika sistem yang diterapkan pada KBK, yakni bahasa Inggris I (2 sks) dan Bahasa Inggris II (2 sks) dengan jumlah tatap muka antara 14 hingga 16 kali per 2 sks, maka hanya ada 28 hingga 32 kali tatap muka, dengan satu jam empat puluh menit per tatap muka, selama seorang mahasiswa duduk di bangku kuliah. Dengan waktu yang sesingkat ini, ditambah lagi banyaknya jumlah mahasiswa yang berada dalam satu kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung, maka akan sangat minim kecakapan yang diperoleh seorang mahasiswa pada saat tatap muka. Hal ini akan berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan pemahaman teks yang berbahasa Inggris pada bidang studi yang digelutinya dan terhadap kecakapan akan bahasa Inggris yang dituntut pasar kerja saat ini.

PENUTUP

Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dalam penerapan belajar secara mandiri di dalam sarana belajar mandiri, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun pada PT, pengenalan terhadap strategi belajar yang efektif, pengembangan materi dan kegiatan belajar, pengadaan alat bantu belajar, serta sistem evaluasi dan monitoring sebaiknya dilakukan sebelum menugaskan pelajar belajar mandiri. Lebih penting lagi bahwa pelajar sudah harus mengetahui konsep belajar mandiri, dan bahwa masing-masing pelajar sudah sebaiknya menyadari bahwa konsep saling membantu dalam belajar bahasa Inggris adalah yang menjadi pokok pada sarana belajar mandiri. Pengajar sebaiknya mengetahui perubahan fungsinya dari seorang guru pada saat tatap muka menjadi seorang fasilitator pada saat belajar secara mandiri di dalam sarana belajar mandiri. Untuk mengaktifkan pelajar menggunakan sarana belajar mandiri, tugas untuk dikerjakan di dalam sarana belajar mandiri harus diberikan pada saat tatap muka secara terprogram. Ada pendapat yang mengatakan bahwa belajar secara otonomi tidak cocok diterapkan untuk anak-anak, untuk mempelajari bahasa yang sulit, dalam institusi yang berorientasi pada ujian, dan orang dewasa yang tingkat pendidikannya rendah (Gremmo dan Riley 1995). Pendapat seperti ini sudah tidak up-todate lagi karena hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anakanak dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam bahasa asing dengan pendekatan learning to learn (Dam 1982, dalam Gremmo dan Riley 1995). Bahasa yang dianggap sulit juga telah dipelajari dengan menggunakan SAC di beberapa negara di Eropa, sebagai contoh 40 bahasa asing diajarkan dengan mengintegrasikannya dengan SAC pada Pusat bahasa Universitas Cambridge (Harding dan Tealby 1981). Penggunaan SAC juga telah diteliti pada institute yang berorientasi pada ujian. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan SAC, pelajar dapat meningkatkan capaian mereka pada ujian (Moulden 1983). Demikian juga halnya dengan pembelajaran bahasa kepada orang dewasa yang berpendidikan rendah, penggunaan SAC juga ditemukan memberikan kontribusi yang positif terhadap kemampuan berbahasa. Willing dan Race (1988) mengadakan penelitian terhadap pendatang di Australia yang berlatarbelakang pendidikan rendah (anak-anak kapal) dalam belajar bahasa Inggris dengan menggunakan SAC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan SAC secara efisien memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kemampuan berbahasa Inggris.

Untuk dapat menggunakan SAC secara efektif, untuk pendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan dalam penerapan KBK, sebaiknya pengajar bahasa Inggris dan pelajar terlebih dahulu diperkenalkan pada sistem belajar pada SAC. Dengan demikian, pengajar akan dapat mendesain dan mengembangkan materi SAC, serta mengetahui strategi-strategi belajar yang efektif. Untuk pelajar perlu diterapkan pendekatan learning to learn dengan mengintegrasikannya dalam proses belajar mengajar di dalam kelas atau dengan melakukan pelatihan khusus sebelum ditugaskan untuk menggunakan SAC. Pimpinan, pada tingkat sekolah dasar, menengah, dan PT sebaiknya menyadari bahwa sistem belajar apa pun yang diterapkan dalam proses belajar sudah sebaiknya ada alokasi dana untuk pengadaan sarana belajar mandiri serta fasilitas yang mendukungnya. Jika sistem life-long education ingin terwujud dalam masyarakat Indonesia, dasarnya harus ditanamkan sedini mungkin dengan menumbuhkembangkan kemauan belajar mandiri yang lebih popular dengan sebutan autonomous learning. .Jika kecakapan akan bahasa Inggris dituntut pada KBK, pelajar harus diperkenalkan dengan situasi dimana bahasa itu dapat digunakan. Penggunaan SAC yang efektif akan membantu penerapan bahasa sesuai konteks dan kebutuhan pengguna.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1990. “The teaching of English in Indonesia.” Dalam James Britton dan Ken Watson (peny.), Teaching and Learning of English Worldwide. Clevedon: Multilingual Matters Ltd.

Cooley, Linda. 1993. “Using study guides: An approach to self-access.” Hong Kong Papers in linguistics and language teaching. Language centre, University of Hong Kong.

Gardner, David dan Lindsay Miller. 1999. Establishing self-access: From theory to practice. Cambridge: CUP.

Gremmo, Marie-Jose dan Philip Roley. 1995. “Autonomy, self-direction and self-access in language teaching and learning: The history of an idea.”

System, Vol. 23, No. 2.

Grow, Janice. 1987. “A communicative Approach to language teaching for lecturers in Indonesia preparing to study abroad.” Guidelines, Vol. 9, No.2.

Harding, E., dan Tealby, A. 1981. “Counselling for language learning at the university of Cambridge.” Melanges Pedagogiques. CRAPEL, Universite Nancy.

Hayward, Kathy. 1994 “Self-access writing centre.” Dalam David Gardner (peny.), Direction in self-access language learning. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Kell, James dan Newton, Clive. 1997. “Roles of pathways in self-access centres.” ELT Journal, Vol.51, No. 1

Littlewood, William. 2000. “Do asian students really want to listen and obey?” ELT Journal, Vol.54, No.1.

Manurung, Konder. 2002. Maximizing the use of language learning strategies in self-access centres. La Trobe University-Victoria. Unpublished Ph.D thesis. Oxford, Rebecca. 1990. Learning strategies: What every teacher should know. Boston: Heinle & Heinle.

Race, E. 1985. Self-access at Royal Melbourne Institute of Technology. Melbourne: Royal Melbourne Institute of Technology.

Linguistik Indonesia, Tahun ke 24, No. 2, Agustus 2006

Setiyadi, A.Bambang. 1999. Survey on the learning strategies of EFL learner in tertiary education in Indonesia. La Trobe University-Victoria. Unpublished Doctoral Dissertation.

Sheerin, Susan. 1989. Self-access; Resource book for teachers. Oxford: OUP.

Sheerin, Susan. 1991.”Self-access.” Language Teaching Journal, Vol. 24.

Yeung, Lorrita dan Hyland, Fiona. 1999. “Bridging the gap: Utilising selfaccess as a course component.” A Journal of Language Teaching and research in Southeast Asia, Vol. 30, No. 1.

Waite, Sarah. 1994. “Low resourced self-access with EAP in the developing world: the great enabler?” ELT Journal, Vol. 48, No.3.

Willing, K. 1981. Teaching how to learn. Sydney: Macquire.


View the original article here

Jumat, 27 April 2012 0 komentar

Pengantar

Pengantar

Kami bersyukur ke hadirat Allah swt. bahwa atas rahmat dan hidayah-Nya semata E-Jurnal Infodiknas.com untuk Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dapat terbit dengan edisi percobaan.

Edisi ini sengaja diberi nama edisi percobaan karena edisi ini memang masih berupa percobaan dan dimaksudkan sebagai cikal bakal hadirnya E-Jurnal yang memenuhi standar.

Sehubungan dengan rencana hadirnya E-Jurnal Infodiknas.com yang terstandar maka kami menyambut dengan baik atas datangnya saran dari segenap pihak.

Mudah-mudahan rencana hadirnya E-Jurnal Infodiknas.com ini bisa memberikan manfaat bagi semua di tanah air Indonesia ini. Amin!

Hormat Pengelola

Rulam Ahmadi


View the original article here

Kamis, 26 April 2012 0 komentar

Joe Saad, Coco Rocha, and 1 other shared with you on Google+

Hi Guru Garut!
Here's the week's top content.
Google+ team
Recent posts from your circlesView all recent posts
I've been finding some really good stuff on Google Offers lately.

If you're not on it yet, I strongly recommend that you give it a try.

Here's how it works: http://www.google.com/offers/customer/how-it-works.html
Google Offers for Customers
Get amazing deals at the best places to eat, shop and play. Subscribe now and get offers in your inbox when Google Offers launches in your city.
4 comments - 1 shareView or comment on this post »
Canada's Best Beauty Talent - Behind-the-scenes photos.

'Canada's Best Beauty Talent' is a 6 part mini-series sponsored by L'Oreal, Lancome, Yves Saint Laurent and more airing online at bestbeautytalent.com & Rogers on-demand for the next few weeks. Watch as we discover which beauty talent will shine, as 12 of Canada's top beauty artists come together to compete in a series of exciting challenges.

For more information and to watch the first 3 episodes go to http://bestbeautytalent.com
...and 9 more photos.
View or comment on this post »
The public doesn't care about accomplishment anymore.

Slate's Simon Doonan identifies the main thing wrong with popular culture: People don't care about accomplishment.

That's why there's massive press coverage for Kim Kardashian. She was born rich and beautiful. But she's never accomplished anything. Nobody cares.

Here's why, according to Doonan:

"We are living in an everyone-is-special-and-there-are-no-losers society. As a result, we are fearful of accomplished people because they can do stuff that...
26 comments - 4 sharesView or comment on this post »
The most popular content on Google+View what's hot
These kids are on the right track.. Well played Daddio.
youtube.com - It has become a morning habit to sing Bohemian Rhapsody on the way to school in the morning. Depending on traffic, we can usually start the song as we pull out of the driveway, and pull into the school...
+271 - 72 comments - 141 sharesView or comment on this post »
Believe it or not... this is not Photoshop...
A Macbook, an iPhone, a Kindle, an iPod and... A BOOK!!!
+2389 - 500 comments - 1081 sharesView or comment on this post »
*Dear Coffee*

Morning/Night G+ - I need this spoon!

#coffee
+834 - 286 comments - 271 sharesView or comment on this post »
Don't want occasional updates about Google+ activity and friend suggestions? Change what email Google+ sends you.Google+ team
Rabu, 25 April 2012 0 komentar

Pengaruh Bermain Peran (Role Playing) dalam Meningkatkan Pembelajaran Bahasa Inggris

Oleh Nani Shofiatun, S.Pd.

Salah satu tugas guru adalah membantu anak didik untuk bisa berlaku sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Berbagai bentuk permainan, cerita-cerita sejarah, biografi maupun cerita-cerita yang lain dapat membantu anak didik untuk mencapai keterampilan tersebut.

Bercerita tentang apa yang dirasakan orang lain kadang-kadang ada manfaatnya. Guru yang telah berhasil menggunakan sosiodrama akan beranggapan bahwa metode tersebut lebih baik dibanding metode-metode yang lain.

Role playing atau disebut juga dengan istilah sosiodrama adalah permainan yang dilakukan oleh anak didik tentang satu situasi. Kegiatan tersebut biasanya spontan tanpa dipersiapkan atau dilatih terlebih dahulu. Kegiatan tersebut dilaksanakan tanpa menggunakan kostum atau naskah cerita tertentu. Latar belakang dari sesuatu situasi didiskusikan dan kemudian bagian-bagian yang ada diseleksi. Biasanya anak didik memilih di antara beberapa topik yang diberikan kepada mereka. Naskah pendek yang dibawakan biasanya sudah mengandung situasi permasalahan. Dan sesudah sosiodrama berlangsung masing-masing individu mendiskusikan bagaimana perasaan-perasaan mereka.

Main peran disebut juga main simbolik, pura-pura, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama, sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak pada usia tiga sampai enam tahun (Vygotzky, 1967; Erikson, 1963).

Metode role playing (bermain peranan) pada pengajaran yang direncanakan secara baik, dapat menanamkan pengertian peranan orang lain pada kehidupan bermasyarakat, menanamkan kemampuan bertanggung jawab dalam bekerja sama dengan orang lain, menghargai pendapat dan kemampuan orang lain, dan belajar mengambil keputusan dalam hubungan kerja kelompok.

Keuntungan penggunaan role playing menurut Cheppy H.C. (1980:124-125) yaitu:

Membantu anak didik untuk berlaku, berpikir dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.Menggambarkan situasi hubungan antarmanusia secara realistis.Dapat mengungkapkan sejarah kehidupan untuk anak didik.Mengembangkan daya imajinasi anak didik.Memperkaya hal-hal baru dalam belajar mengajar.Menumbuhkan perasaan dan emosi dalam belajar.Memberanikan anak didik berhubungan dengan masalah-masalah kontroversial dengan cara yang realistis.Berguna untuk mengubah sikap.

Sedangkan kelebihan dan kekurangan metode sosiodrama atau role playing menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006:89-90), adalah sebagai berikut:

Kelebihan metode role playing Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.Siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu main drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak.Kerja sama antarpemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.Kelemahan metode role playing Sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang kreatif.Banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan.Memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menjadi kurang bebas.Sering kelas lain terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan, dan sebagainya.

Untuk dapat menerapkan metode role playing (bermain peranan) pada pengajaran secara baik dan terarah, guru harus menjelaskan dulu teknik metode ini secara jelas kepada siswa yang akan melaksanakannya. Selanjutnya guru memilih dan menentukan topik atau pokok bahasan yang komprehensif yang dapat didramatisasikan. Melalui latihan yang baik dan teratur, pokok bahasan ini dapat dilakonkan di muka kelas. Dengan cara ini, minat dan perhatian murid terhadap pelajaran yang terlalu kaku dan menjemukan, dapat disegarkan kembali melalui metode ini. Sosiodrama yang menyakinkan, dapat membangkitkan minat anak didik kepada pengajaran secara keseluruhan. Untuk meningkatkan kognisi dan psikomotor murid-murid melalui metode sosiodrama dan bermain peranan ini, setelah dramatisasi itu dilaksanakan, guru mengadakan diskusi dengan murid secara keseluruhan tentang topik dan pelaksanaan drama tadi. Dengan demikian, kognisi dan psikomotor murid secara keseluruhan dapat pula ditingkatkan melalui bimbingan drama tersebut. Jadi, dramatisasi dan permainan peranan itu menjadi lebih bermakna sebagai suatu metode interaksi edukatif yang lebih terpadu. Pada kesempatan ini, guru dan murid tetap melakukan pembinaan konsep dan pengembangan generalisasi sampai kepada menarik kesimpulan-kesimpulan tentang role playing (bermain peranan) tadi.

Adapun petunjuk dalam pelaksanaan role playing menurut Cheppy H.C. (tanpa tahun:126), antara lain:

Berikan kesempatan kepada anak didik untuk memilih peranannya sendiri. Mereka akan memerankannya dengan lebih baik apabila mereka sendiri yang memilih bagiannya. Apa yang telah dipilih barangkali mempunyai arti tersendiri bagi dirinya.Di dalam melaksanakan kegiatan sosiodrama yang pertama kali sebaiknya guru juga mengambil sesuatu peran. Tindakan ini bisa menambah kegairahan anak untuk bermain peranan (role playing).Diskusikan terlebih dahulu situasi yang akan dimainkan, tetapi jangan sampai membatasi anak didik tentang apa yang akan diutarakan dan bagaimana mereka menghayati perannya. Biarkan anak didik menentukan sendiri.Usahakan situasi benar-benar jelas dan terang.Diskusikan pelaksanaan sosiodrama tersebut. Diskusi bisa dimulai dari aktor atau aktris itu sendiri, bagaimana perasaan mereka setelah bermain.Ulangi situasi tersebut, baik dengan bercerita yang sama maupun tidak.Upayakan agar semua pihak bisa mengambil peranan.

Untuk meningkatkan kognisi dan psikomotor murid-murid melalui metode role playing (bermain peranan) ini, setelah dramatisasi itu dilaksanakan, guru mengadakan diskusi dengan murid secara keseluruhan tentang topik dan pelaksanaan drama tadi. Dengan demikian, kognisi dan psikomotor murid secara keseluruhan dapat pula ditingkatkan melalui bimbingan drama tersebut. Jadi, dramatisasi dan permainan peranan itu menjadi lebih bermakna sebagai suatu metode interaksi edukatif yang lebih terpadu. Pada kesempatan ini, guru dan murid tetap melakukan pembinaan konsep dan pengembangan generalisasi sampai kepada menarik kesimpulan-kesimpulan tentang sosiodrama dan bermain peranan tadi.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2006:88) mengemukakan pendapatnya mengenai metode role playing, yaitu, “Metode sosiodrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya, dan dalam pemakainannya sering disilihgantikan. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.”

Adapun Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (1997:81) memberikan pendapatkan tentang metode role playing, yaitu, “Suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang, seperti yang dilakukan dalam hubungan sosial sehari-hari dalam masyarakat.”

Metode role playing (bermain peranan) dalam proses belajar mengajar digunakan:

Apabila kita ingin menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, kita beranggapan lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan karena akan lebih jelas.Apabila kita ingin melatih anak-anak agar mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.Apabila kita akan melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. (Nana Sudjana, 2005:84-85).

Salah satu tugas guru adalah membantu anak didik untuk bisa berlaku sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Berbagai bentuk permainan, cerita-cerita sejarah, biografi maupun cerita-cerita yang lain dapat membantu anak didik untuk mencapai keterampilan tersebut.

Bercerita tentang apa yang dirasakan orang lain kadang-kadang ada manfaatnya. Guru yang telah berhasil menggunakan sosiodrama akan beranggapan bahwa metode tersebut lebih baik dibanding metode-metode yang lain.

Petunjuk pelaksanaan role playing antara lain:

Berikan kesempatan kepada anak didik untuk memilih peranannya sendiri. Mereka akan memerankannya dengan lebih baik apabila mereka sendiri yang memilih bagiannya. Apa yang telah dipilih barangkali mempunyai arti tersendiri bagi dirinya.Di dalam melaksanakan kegiatan sosiodrama yang pertama kali sebaiknya guru juga mengambil sesuatu peran. Tindakan ini bisa menambah kegairahan anak untuk bermain peranan (role playing).Diskusikan terlebih dahulu situasi yang akan dimainkan, tetapi jangan sampai membatasi anak didik tentang apa yang akan diutarakan dan bagaimana mereka menghayati perannya. Biarkan anak didik menentukan sendiri.Usahakan situasi benar-benar jelas dan terang.Diskusikan pelaksanaan sosiodrama tersebut. Diskusi bisa dimulai dari aktor atau aktris itu sendiri, bagaimana perasaan mereka setelah bermain.Ulangi situasi tersebut, baik dengan bercerita yang sama maupun tidak.Upayakan agar semua pihak bisa mengambil peranan.

Harap diingat bahwa guru jangan terlalu banyak memberikan aturan-aturan permainan. Sebaliknya, guru justru memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para siswa. Jika hal itu benar-benar dilaksanakan, maka situasi sosial yang didramatisasikan akan serupa benar dengan kejadian yang sesungguhnya. Hal itu akan sangat menguntungkan bagi para siswa yang menjadi penonton (sekaligus sebagai penilai).

Dalam penggunaan metode role playing ini ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil, antara lain:

Guru

Guru tidak boleh bersikap apriori. Setiap individu akan menghayati situasi sosial menurut caranya sendiri. Apa yang akan ia lakukan, keputusan apa yang akan ia pilih jika ia berada dalam situasi sosial seperti itu, semua harus diserahkan kepada pemeran yang bersangkutan.

Siswa

Dramatisasi ini akan berhasil kalau para siswa yang berperan dapat menjiwai situasinya, dapat bertingkah laku dan bersikap seperti dalam situasi sosial yang sesungguhnya.

Bahan

Sesuatu yang didramatisasikan akan baik hasilnya, jika bahan itu cocok dengan para pemeran yang akan memerankannya. Bahan harus dipilih dengan cermat. Kriteria yang harus diperhatikan antara lain:

Bahan harus sesuai dengan perkembangan jiwa siswa.Bahan harus memperkaya pengalaman sosial siswa.Bahan harus cukup mengandung sikap dan perbuatan yang akan didramatisasikan siswa.Bahan hendaknya tidak mengandung adegan-adegan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, agama, kepribadian bangsa Indonesia.

Kegiatan belajar mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai pendidikan. Di dalamnya terjadi interaksi edukatif antara guru dan anak didik, ketika guru menyampaikan bahan pelajaran kepada anak didik di kelas. Bahan pelajaran yang guru berikan itu akan kurang memberikan dorongan (motivasi) kepada anak didik apabila penyampaiannya menggunakan strategi yang kurang tepat. Di sinilah kehadiran metode menempati posisi penting dalam penyampaian bahan pelajaran.

Bahan pelajaran yang disampaikan tanpa memperhatikan pemakaian metode justru akan mempersulit bagi guru dalam mencapai tujuan pengajaran. Pengalaman membuktikan bahwa kegagalan pengajaran salah satunya disebabkan oleh pemilihan metode yang kurang tepat. Kelas yang kurang bergairah dan kondisi anak didik yang kurang kreatif dikarenakan penentuan metode yang kurang sesuai dengan sifat bahan dan tidak sesuai dengan tujuan pengajaran. Karena itu, dapat dipahami bahwa metode adalah suatu cara yang memiliki nilai strategis dalam kegiatan belajar mengajar. Nilai strategisnya adalah metode dapat mempengaruhi jalannya kegiatan belajar mengajar. Karena itu, guru sebaiknya memperhatikan dalam pemilihan dan penentuan metode sebelum kegiatan belajar dilaksanakan di kelas.

Pada kelas-kelas permulaan, diperlukan aktivitas yang pada umumnya bertumpu pada bahan-bahan bukan bacaan. Dalam hal ini penyelenggaraan sinau wisata mempunyai kedudukan tinggi dalam proses belajar mengajar. Dramatisasi secara sederhana ternyata sangat berguna untuk memberikan kesempatan kepada mereka memperagakan pengalaman belajarnya. Peragaan dan permainan memang dirasakan dapat membantu banyak. Membacakan bahan kepada seluruh anak di kelas secara jelas merupakan aktivitas utama dari proses belajar mengajar pada kelas-kelas ini. Demikian juga halnya dengan aktivitas penyusunan bagan oleh anak didik bersama-sama guru hendaknya seringkali digunakan.

Role playing atau sosiodrama adalah permainan yang dilakukan oleh anak didik tentang satu situasi. Kegiatan tersebut biasanya spontan tanpa dipersiapkan atau dilatih terlebih dahulu. Kegiatan tersebut dilaksanakan tanpa menggunakan kostum atau naskah cerita tertentu. Latar belakang dari sesuatu situasi didiskusikan dan kemudian bagian-bagian yang ada diseleksi. Biasanya anak didik memilih di antara beberapa topik yang diberikan kepada mereka. Naskah pendek yang dibawakan biasanya sudah mengandung situasi permasalahan. Dan sesudah sosiodrama berlangsung masing-masing individu mendiskusikan bagaimana perasaan-perasaan mereka.

Metode role playing atau sosiodrama ini digunakan apabila:

Keterangan secara lisan tidak dapat menerangkan pengertian yang dimaksud.Memberikan gambaran mengenai bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi sosial tertentu.Memberikan kesempatan untuk menilai atau memberikan pandangan mengenai suatu tingkah laku sosial menurut pandangan masing-masing.Belajar menghayati sendiri keadaan “seandainya saya berada dalam situasi sosial seperti yang dialami sekarang ini (yang disosiodramakan).”Memberikan kesempatan untuk belajar mengemukakan penghayatan sendiri mengenai suatu situasi sosial tertentu dengan mendramatisasikannya di depan penonton dan bukan memberikan keterangan secara lisan.Memberikan gambaran mengenai bagaimana seharusnya seseorang bertindak dalam suatu situasi sosial tertentu. Abu Ahmadi, dan Joko Tri Prasetya, 1997:82).

Metode memainkan peran tokoh masyarakat (sociodrama), sangat efektif untuk menanamkan pengertian-pengertian tentang kehidupan sosial yang sangat asing bagi siswa. Dengan peran spontan ini seakan-akan anak benar-benar menghayati dunia yang baru saja diperkenalkan kepadanya.

Sedangkan materi bahasa Inggris yang dapat dipetaskan melalui metode role playing ini, misalnya naratif. Dalam pelaksanaannya siswa secara berkelompok diminta untuk menentukan tema cerita yang akan dipentaskan, misalnya: Cinderella, Malin Kundang, Snow White, dan sebagainya. Kemudian membuat teks (naskah drama) dan mempelajarinya secara seksama. Sebelum diadakan pementasan akan lebih baik apabila dilakukan latihan-latihan, sehingga pada saat tampil sudah dalam keadaan perfect.

Berdasarkan penjelaskan di atas, dapat diketahui bahwa metode role playing yang dipergunakan secara baik dan tepat oleh guru dalam proses belajar mengajar rupanya mempunyai peranan dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, dan Joko Tri Prasetya. 1997 Strategi Belajar Mengajar (SBM), Pustaka Setia, Bandung.

Bimo Walgito. 1989. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Andi Offset, Yogyakarta.

Cheppy H.C. 2005. Strategi Ilmu Pengetahuan Sosial, Surabaya: Karya Anda.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Harjanto. 2003. Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta.

Lalu Muhammad Azhar. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA, Surabaya: Usaha Nasional.

M. Ngalim Purwanto. 2003. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nana Sudjana. 2005. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Nursid Sumaatmadja. 1980. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung: Alumni.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta.

Syaiful Bahri Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Surabaya: Usaha Nasional.

Syaiful Bahri Djamarah, dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.

Udin S. Winataputra. 2001. Strategi Belajar Mengajar, Universitas Terbuka, Jakarta.


View the original article here

Senin, 23 April 2012 0 komentar

ESA FKIP UNISMA Selenggarakan English Festival 2012

esa_1

*** ***

1. Pendahuluan

Bahasa adalah sarana komunikasi terpenting. Dengan bahasa transfer pengetahuan bisa dilakukan. Dengan bahasa penyebaran dan penyerapan informasi bisa diwujudkan. Selain itu, bahasa juga merupakan bagian dari budaya. Jadi, bahasa tidak hanya merupakan sarana untuk belajar (melalui kegiatan komunikasi pengetahuan dan informasi), tetapi juga merupakan obyek untuk untuk dipelajari.

English Student Association (ESA), LGM FKIP UNISMA berupaya memberi wadah bagi mereka untuk menyalurkan kemampuan berbahasa inggris, dengan wujud sebuah kompetisi berbahasa inggris yang meliputi, Debate, Speech & Writing, dan pada akhirnya diharapkan dapat membangkitkan gairah untuk mengenal, mempelajari dan memperdalam bahasa inggris sebagai bekal bagi mereka untuk menghadapi masa muda (dunia) dan menjadikan bangsa indonesia maju menatap masa depan yang cerah. Kesuksesan kaum muda adalah tanggung jawab kita bersama.

2. Landasan

1. Landasan Idiil : Pancasila

2. Landasan konstitusional : UUD 1945

3. Landasan Yuridis Operasional : GBHN

4. Landasan Operasional :

1. Tri Dharma Perguruan Tinggi.

2. Program Kerja English Student Association periode 2011-2012.

3. Tujuan

Adapun tujuan dari kegiatan perlombaan ini antara lain adalah:

a. Memberikan wadah pelajar bahasa Inggris untuk mengekspresikan dan mengembangkan kemampuan kebahasaan mereka.

b. Membangun idealisme dan kepercayaan diri pelajar bahasa Inggris.

c. Memberikan wacana dan persepsi baru terhadap pentingnya penguasaan bahasa Inggris.

4. Nama dan Tema Kegiatan

Nama dari kegiatan ini adalah ”ENGLISH FESTIVAL” Se-Jawa TimurTahun 2012

Tema dari kegiatan ini adalah Tema kegiatan ini adalah “We learn, share, and lighten the world through English Festival”.

5. Waktu dan Tempat Kegiatan

Hari/Tanggal : Sabtu-Minggu/12-13 Mei 2012

Waktu : 07.00 WIB – Selesai

Tempat : Kampus Universitas Islam Malang

6. Peserta

a. Peserta adalah pelajar SMA/ MA/SMK sederajat di wilayah Jawa.

b. Peserta boleh atas nama delegasi sekolah atau pribadi

c. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengikuti 1 macam lomaba

d. Peserta wajib melihat info terbaru di website www.unisma.ac.id atau www.infodiknas.com

7. Jenis Perlombaan

a. Debate

? 1 tim terdiri dari 3 orang peserta

? Sistem debat yang diperlombakan adalah Asian Parliament System.

? Motion akan direlease di website www.unisma.ac.id atau www.infodiknas.com selambat-lambatnya 2 minggu sebelum technical meeting

? Setiap sekolah berhak mengirimkan maksimal tiga (3) tim untuk mengikuti lomba dengan ketentuan tiga (2) tim pertama akan langsung terdaftar, sedangkan satu (1) tim selanjutnya akan masuk dalam daftar tunggu.

? Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000/ Tim

b. Speech

? Bentuk lomba perseorangan

? Waktu yang diberikan maksimal 7 menit

? Setiap sekolah boleh mengirimkan maksimal 3 orang

? Tema speech adalah youth life style

? Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 50.000/orang

c. English Proficiency

? Bentuk lomba perseorangan

? Peserta mengerjakan soal bahasa inggris meliputi reading, speaking, listening, writing dan grammar

? Setiap sekolah boleh mengirimkan maksimal 5 orang

? Teknis perlombaan akan dijelaskan pada saat technical meeting

? Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 50.000/orang

8. Pendaftaran

a) Waktu pendaftaran

Pendaftaran dimulai sejak informasi ini diterima dan ditutup pada waktu teknikal meeting

b) Syarat pendaftaran

? Menyerahkan fotokopi kartu pelajar sebanyak 2 lembar.

? Mengisi formulir pendaftaran

? Menyerahkan foto berwarna 3×4 sebanyak 2 lembar

? Membayar uang pendaftaran di stand pendaftaran atau ke nomer rekening Bank BRI: 1259-01-001337-50-7 atas nama SITI ALFIYAH bukti transfer diserahkan kepada panitia pada saat technical meeting

c) Tempat Pendaftaran:

a. Stand Panitia di depan kantor FKIP

b. Melalui CP: Office : (0341) 5383412

Nanang : 087859926245

Rohim : 085749564466

9. Daftar Ulang dan Teknikal Meeting

a. Daftar ulang dilaksanakan pada saat technical meeting

b. Membawa persyaratan administrasi sebagai berikut :

? Formulir pendaftaran

? Foto Copy bukti pendaftaran

? fotokopi kartu pelajar sebanyak 2 lembar

? foto berwarna 3×4 sebanyak 2 lembar

? Semua berkas dimasukkan dalam 1 map warna merah untuk debat,warna kuning untuk speech, dan hijau untuk English proficiency.

c. Teknical Meeting dilaksanakan pada hari Sabtu, 05 Maret 2012 di Gedung C Universitas Islam Malang

d. Setiap sekolah wajib mengirimkan minimal 1(satu) orang untuk mengikuti Teknical Meeting.

10. Kejuaraan

Setiap lomba akan memperebutkan:

a. Juara 1 : Trophy dari Gubernur Jawa Timur+Tabanas+sertifikat

b. Juara 2 : Trophy dari Walikota Malang+Tabanas+sertifikat

c. Juara 3 : Trophy dari Rektor UNISMA+Tabanas+sertifikat

d. Juara harapan 1 : Trophy dari Dekan FKIP+sertifikat

e. Juara harapan 2 : Trophy dari ESA+ sertifikat

11. Fasilitas

? Sertifikat setiap peserta lomba

? Sertifikat untuk pendamping

? Id card

? Makan

? Soft Drink

12. Lain-Lain

Hal-hal yang belum jelas dapat ditanyakan waktu Teknikal Meeting atau langsung menghubungi contact person

Contact Person:

Office : (0341) 5383412

Nanang : 087859926245

Rohim : 085749564466

— —

esa_1— —

esa_3


View the original article here

Minggu, 22 April 2012 0 komentar

Meningkatkan Kemampuan Penguasaan Kosa Kata Bahasa Inggris Anak Usia Dini dengan Menggunakan Alphabet Method

Firman Parlindungan (Mahasiswa Pascasarjana UNISMA).

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan dan kemajuan zaman telah menuntut kita untuk dapat menguasai bahasa asing sebagai alat komunikasi di era globalisasi ini. Oleh karena itu, kebijakan dimasukkannya bahasa inggris sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar telah mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Dewasa ini, peran bahasa inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan telah menjadi muatan lokal wajib. Hal ini terlihat jelas dalam kegiatan pendidikan di sekolah dasar, bahasa inggris diberikan kepada siswa lebih awal.

Salah satu faktor penting dalam pembelajaran bahasa inggris untuk anak adalah guru yang peduli terhadap kebutuhan anak didiknya. Dari hasil penelitian dan kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bahasa inggris untuk anak-anak masih banyak kelemahan dan kekurangannya (Kasihani K.E. Suyanto, 2007). Selain penguasaan dan keterampilan bahasa inggris yang mumpuni, guru juga harus menguasai teknik-teknik mengajar bahasa inggris untuk anak. Anak didik sering merasa jenuh belajar bahasa inggris karena mereka tidak mengenal kosa kata (vocabulary) yang ada. Kosa kata (vocabulary) adalah salah satu faktor penting dalam belajar bahasa inggris. Ketika anak memulai pelajaran dan mereka stag karena kosa kata, maka anak pun menjadi malas belajar. Apalagi dengan penggunaan teknik pengajaran yang kurang tepat.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ada satu teknik pengajaran baru bagi anak usia dini yaitu Alphabet Method. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa inggris (vocabulary) melalui English class yang fun, cooperative, asyik, dan menarik. Oleh karena itu, diharapkan dengan penerapan alphabet method ini, anak lebih tertarik dan termotivasi untuk belajar bahasa inggris terutama dalam penguasaan kosa kata (vocabulary). Vocabulary yang mereka kuasai, nantinya dapat membantu mereka dalam meningkatkan empat kemampuan dasar bahasa inggris yaitu speaking, listening, reading, dan writing.

1.2. Rumusan

Sesuatu yang diasumsikan sebagai masalah, tentu tidak cukup hanya berhenti pada pertanyaan asumtif semata tanpa ada pembahasan lebih lanjut tentang masalah tersebut. Karena masalah memiliki ruang lingkup yang universal, maka perlu dibatasi dengan rumusan-rumusan agar mengacu terhadap masalah dimaksud. Oleh karena itu, penulis membatasi masalah dalam bentuk pertanyaan berikut:

Apakah dasar pemikiran dan teori psikologi pembelajaran bahasa inggris untuk anak usia dini?

Bagaimanakah teknik penggunaan alphabet method dalam meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa inggris (vocabulary) anak usia dini?

1.3. Tujuan

Sebagai kejelasan penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis memiliki beberapa tujuan terkait dengan judul yang penulis angkat yaitu:

1.3.1        Untuk mengetahui dasar pemikiran dan teori psikologi pembelajaran           bahasa inggris bagi anak usia dini

1.3.2        Untuk menjelaskan teknik penggunaan alphabet method dalam meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa inggris anak usia dini

1.4 Manfaat

Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1.4.1        Para pendidik dapat menerapkan teknik-teknik pembelajaran bahasa inggris anak usia dini yang menyenangkan dan mengasyikkan

1.4.2        Sebagai sarana dalam meningkatkan teknik pembelajaran anak usia dini

1.4.3        Sebagai sarana dalam mensosilisasikan pendidikan kreatif bagi anak usia dini

1.4.4        Sebagai bahan metode pembelajaran baru yang jarang sekali digunakan oleh para pendidik.

1.4.5        Anak usia dini dapat meningkatkan kosa kata bahasa inggris melalui alphabet method

1.4.6        Siswa dapat menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa asing yang menyenangkan untuk dipelajari

1.4.7        Sebagai referensi metode pembelajaran di institusi pendidikan.

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Dasar Pemikiran dan Teori Psikologi Pembelajaran Bahasa Inggris Anak Usia Dini

Ada beberapa teori psikologi perkembangan anak yang relevan dan terkait dengan pembelajaran bahasa, termasuk bahasa asing. Teori-teori tersebut menjadi dasar pemikiran ditetapkanya matapelajaran bahasa inggris yang dimulai dari kelas empat SD dan MI. Teori-teori tersebut dikemukakan oleh Piaget, Vigotsky, dan Brunner. Teori mereka dapat dihubungkan dengan perkembangan anak karena menekankan adanya tingkat-tingkat perkembangan kognitif yang dialami anak, perlunya interaksi sosial dan perlunya bantuan orang dewasa dalam mendorong anak belajar (Kasihani K.E Suyanto, 6:2007). Berikut teori-teori tersebut dikaji lebih lanjut:

2.1.1 Jean Piaget (1896-1980)

Piaget mengemukakan suatu teori psikologi perkembangan yang berhubungan dengan unsur kognitif. Menurut Piaget (1989):

Anak belajar dari lingkungan di sekitarnya dengan cara mengembangkan apa yang sudah dimiliki dan akan berinteraksi dengan apa yang ditemui di sekitarnya. Dalam berinteraksi, mereka akan melakukan suatu tindakan agar bisa memecahkan masalahnya dan di sinilah terjadi proses belajar

Menurut Piaget semua anak adalah pembelajar aktif. pengetahuan baru merupakan pengetahuan yang secara aktif disusun oleh anak itu sendiri. Pada awalnya, hal itu terjadi bekaitan dengan benda-benda konkrit yang ada di sekitarnya, kemudian masuk dalam pikiranya dan diikuti dengan melakukan suatu tindakan, selanjutnya tindakan itu dicerna dan dipahami. Dengan cara itu, apa yang ada di dalam “pikiran” terlihat sebagai sesuatu yang diperoleh dari tindakanya (action), lalu “pikiran” berkembang dan tindakan serta pengetahuan anak akan beradaptasi dan terjadilah sesuatu yang baru.

Menurut Piaget (1969), terdapat empat fase perkembangan anak, yaitu:

1) Sensory motor stage, dari lahir sampai usia dua tahun;

2) Preoperational stage, usia dua sampai delapan tahun;

3) Concrete operational stage, usia delapan sampai sebelas tahun;

4) Formal stage, usia, 11-15 tahun atau lebih.

Fase masa perkembangan tersebut tidak selalu sama bagi setiap anak, baik secara perorangan atau kelompok. Fase-fase perkembangan dapat terjadi bersamaan waktunya, tetapi perkembangan untuk setiap anak dapat dicapai dalam waktu yang tidak bersamaan, apalagi untuk setiap jenis pengetahuan juga berbeda.

Dengan memperhatikan keempat fase perkembangan tersebut, dapat kita lihat pada fase dimana anak-anak sekolah dasar Indonosia, yaitu anak-anak usia 6-12 tahun. Tentunya mereka berada pada akhir periode preoprational stages sampai dengan concrete operational stages, bukan sampai awal dari formal stages. Berarti anak-anak usia sekolah dasar perlu mendapat perhatian sesuai dengan jenjang kelasnya. Pikiran anak berkembang sedikit demi sedikit sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya menuju ke tahap cara berpikir yang lebih logis dan formal.

Piaget (1963) berpendapat bahwa “cara berpikir anak berkembang melalui keterlibatan langsung dengan benda dan lingkungan yang ada di sekitarnya”. Setiap mencapai fase perkembangan baru, kemampuan bertambah dan menjadi satu dengan tingkat daya berpikir sebelumnya. Karena dua dari empat masa peralihan, masa perkembangan biasanya terjadi pada waktu anak-anak di sekolah dasar maka guru bahasa sebaiknya dapat mengikuti ciri-ciri dan perubahan perkembangan fase kognitif mereka.

2.1.2 Lev Vygotsky (1962)

Teori Vygotsky dikenal sebagai teori yang berfokus pada faktor sosial dan juga sering di sebut sebagai sociocultural theory. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain, terutama dengan orang dewasa akan menimbulkan terjadinya ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pebelajar. Beliau berpendapat bahwa anak adalah pebelajar aktif. Perlu kita ketahui bahwa sebenarnya bahasa merupakan alat bagi anak untuk membuka peluang guna melakukan sesuatu dan untuk menata informasi melalui penggunaan kata-kata. Karena itu, tidak mengherankan kalau sering kita temukan anak berbicara pada dirinya sendiri ketika bermain sendiri, hal itu sering disebut sebagai bahasa pribadi (private speech). Dalam tingkat perkembangan ini dia mulai mampu membedakan antara social speech untuk orang lain dan private speech untuk dirinya sendiri (Cameron, 2001).

Pada umumnya, anak-anak yang baru mulai belajar berbicara mengucapkan satu kata yang mempunyai pesan yang utuh. Seperti ketika dia menyebut kata “mama”, dia bermaksud mengatakan “saya mau ikut mama” atau “saya mau disuapi mama”. Sesuai dengan berjalannya waktu, mereka akan berkembang dan akan mengucapkan lebih dari satu kata.

Perkembangan dan proses belajar bahasa terjadi dalam suatu konteks sosial, yaitu dalam komunitas yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak tersebut. Menurut Vygotsky, orang dewasa dapat membantu anak dengan berbagai cara. Sambil mengajari melakukan sesuatu, juga bisa menghemat waktu anak yang sedang belajar dan juga untuk menghindari hal-hal yang kurang menyenangkan. Pokok pikiran dan konsep Vygotsky tehadap aspek sosial dalam proses belajar inilah disebut dengan ZPD (zone of proximal development). Dalam hal ini, Vygotsky menggunakan ZPD untuk memberi makna pada tingkat kecerdasan. Dalam pandangannya, intelegensi sebaiknya diukur dengan apa yang dilakukan oleh seorang anak dengan bantuan yang tepat. Misalnya dengan meningkatkan cara berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa, seperti orang tua, orang sekitar, guru, dan lainnya.

Ada tiga hal pokok yang ditekankan oleh Vygotsky dalam Arends (1998), yaitu:

1)      kemampuan berpikir berkembang ketika orang dihadapkan pada pengalaman baru, ide-ide baru, dan permasalahan yang kemudian dihubungkan dengan apa yang sudah diketehui sebelumnya (prior knowledge).

2)      interaksi dengan orang lain akan memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak untuk menemukan sesuatu yang baru.

3)      peran utama seorang guru adalah sebagai pembantu yang baik untuk memberikan pertolongan kepada anak yang sedang dalam proses belajar.

Pada waktu mempelajari sesuatu yang baru, terjadilah proses menghubungkan antara apa yang sudah diketahui sebelumnya dengan hal baru melalui pelbagai pengalaman belajar. Dengan kata lain, seolah-olah ada suatu “jembatan pengalaman” dimana pebelajar mulai dengan apa yang sudah dikenal atau dimiliki (prior knowledge) kemudian dia melewati “jembatan” tersebut dengan pelbagai pengalaman belajar, setapak demi setapak, akhirnya sampai pada “ balajar sesuatu yang baru” (new knowledge).

2.1.3 Jerome Bruner (1983-1990)

Bruner adalah pakar psikologi. Beliau menekankan bahwa dalam proses belajar yang paling penting adalah melibatkan siswa secara aktif sejak awal proses belajar pada waktu pembelajaran terjadi karena ditemukan sendiri oleh anak tersebut. Dalam penelitiannya, Bruner melakukan percobaan tentang para ibu dan anaknya. Ternyata orang tua dapat membantu dan menunjang tugas-tugas anak secara efektif, antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1)      membuat anak-anak tertarik pada tugasnya

2)      menyederhanakan tugas-tugas, misalnya dengan membagi-bagi menjadi tugas atau tahap-tahap yang lebih kecil

3)      selalu mengingatkan maksud dan tujuan tugas

4)      menunjukkan kepada anak bagian mana yang penting untuk dikerjakan dan memberitahu cara-cara lain untuk mengerjakan bagian-bagian tugas tersebut

5)      menjauhkan anak dari rasa frustasi ketika mereka melakukan tugas

6)      mendemonstrasikan satu bentuk tugas yang ideal, misalnya bagaimana minta maaf, paitan, dan sebagainya (Cameron, 2001:8)

BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Sumber Data

Data diperoleh dari sumber tertulis dan lisan berupa buku, pedoman, artikel dari internet, majalah, dan hasil interview yang terkait dengan masalah yang diangkat.

3.2 Prosedur Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data adalah:

3.2.1        Studi Kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan data dengan mencari rujukan untuk mendapatkan data dan/atau teori yang terkait dengan masalah yang diangkat.

3.2.2        Studi Lapangan (Field Research), yaitu pengumpulan data melalui observasi langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik interview sebagai intsrumen pengumpulan data untuk memperoleh data dan/atau informasi yang terkait dengan masalah yang diangkat.

3.3 Analisis Data

Setelah data diperoleh, data diidentifikasi dengan menghubungkan masalah dan data tersebut. Dalam hal ini penulis menelaah tentang keobjektifan sumber dan keakuratan data yang diperoleh. Kemudian data diolah dengan sistematis dalam setiap bab.

BAB IV

ANALISIS SINTESIS

4.1 Teknik Penggunaan Alphabet Method dalam Meningkatkan Penguasaan Kosa Kata Bahasa Inggris Anak Usia Dini

Alphabet Method adalah metode yang menggunakan huruf abjad sebagai media dalam pembelajaran, mulai dari huruf A sampai dengan Z. Metode ini diterapkan dengan menghubungkan pengalaman pribadi siswa dan kemampuan kognitifnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jerome Bruner “true learning comes through personal discovery”, dengan begitu hasil pembelajaran akan diserap secara maksimal oleh siswa.

4.1.1 Langkah-Langkah Penggunaan Alphabet method

1)      satu minggu sebelum materi disampaikan, siswa diminta untuk mencari informasi dan kosa kata bahasa inggris yang terkait dengan materi yang akan disampaikan. Siswa dapat mencari informasi dari berbagai sumber, misalnya dari buku, internet, atau lingkungan sekitar mengenai kosa kata yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas contoh: materi yang akan dibahas adalah “Alat Transportasi”.

2)      Setelah satu minggu, siswa diminta membuat kelompok menjadi lima kelompok. Dalam hal ini satu kelompok beranggotakan lima orang. Dan masing-masing anggota kelompok mendapatkan satu abjad. Contoh: kelompok A-E, F-J, K-O, P-T, dan satu kelompok beranggotakan enam orang U-Z lihat gambar 2.2.1. Apabila jumlah siswa lebih dari jumlah abjad A-Z, maka siswa tersebut dapat bergabung ke dalam salah satu kelompok yang ada dan mendapatkan satu abjad yang sama seperti anggota kelompok tersebut.

3)      Setelah pembentukan kelompok selesai, siswa diminta mengingat kembali informasi dan kosa kata bahasa inggris tentang “Alat Tranportasi” sesuai dengan abjad yang mereka dapatkan. Dan mengisi kosa kata tersebut di dalam kotak yang telah disediakan sesuai dengan abjad kelompoknya masing-masing. Contoh: Siswa yang mendapatkan abjad dalam kelompok A-E, maka mereka mengisi kotak A-E dengan kosa kata bahasa inggris tentang “Alat Transportasi” yang diawali oleh abjad A-E, seperti Airplane, Bus, Car, Dokar dan seterusnya. Lihat gambar 2.2.1. Jumlah kotak dalam gambar tersebut bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan siswa. Apabila ada siswa yang tidak bisa mengisi table, maka teman kelompoknya bisa membantu.

4)      Langkah yang terakhir adalah presentasi masing-masing individu dalam kelompok. Siswa mempresentasikan kosa kata bahasa inggris tetang “Alat Transportasi” yang mereka letakkan dalam gambar 2.2.1 di depan kelompoknya masing-masing. Presentasi berupa penyampaian deskriptif terkait kosa kata yang diletakkan dalam gambar. Contoh: siswa dalam kelompok A-E mengisi kotak dengan kosa kata bahasa inggris tentang “Alat Transportasi” seperti Airplane, Bus, dan Car. Maka mereka secara bergiliran mendeskripsikan alat transportasi tersebut.

Gambar 2.2.1 : Kartu Model dan Pembagian Kelompok dalam Alphabet Method

4.2 Teknik Penilaian dalam Alphabet Method

Teknik penilaian dalam Alphabet Method menggunakan teknik penilaian authentic (Authentic Assessment).  Istilah Authentic Assessment digunakan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk penilaian yang dapat menggambarkan hasil pembelajaran siswa, motivasi, kemajuan belajar, pemerolehan belajar, dan sikap-sikap terhadap kegiatan kelas bahasa inggris yang relevan dengan pembelajaran (O’Maley dan Pierce, (1996:4) adapun cirri-ciri authentic assessment adalah sebagai berikut:

1)   Berfokus pada tujuan dan kompetensi apa yang akan dicapai

2)   Melibatkan pengalaman dunia nyata

3)   Memanfaatkan sumber daya yang ada

4)   Menyibukkan siswa dengan hal-hal yang relevan

5)   Ada kegiatan, upaya, dan latihan

6)   Dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekuatan siswa dengan melakukan penilain diri (self-assessment), penilain teman (peer-assessment), dan refleksi.

7)   Siswa dilatih untuk berfikir kritis dan berfikir ke tingkat lebih tinggi

8)   Tugas-tugas hendaknya bermakna misalnya membuat laporan, bercerita, dan melakukan pengamatan.

9)   Tugas-tugas terpadu antara ketrampilan berbahasa dengan pengetahuan dan komponen lain.

10) Menuntut adanya kerjasama misalnya tugas kelompok

Berdasarkan ciri-ciri di atas maka ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian Alphabet Method yaitu :

1)      Hasil presentasi dari masing-masing siswa. Semakin baik presentasinya, semakin baik pula nilainya, begitu juga sebaliknya.

2)      Kebenaran dan keakuratan informasi yang diperoleh.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Pelaksanaan pembelajaran bahasa inggris untuk anak usia dini masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu, diperlukan improvisasi guru dalam mengembangkan teknik-teknik pengajaran yang tepat. Agar out put yang dihasilkan pun lebih maksimal.

3.1.2 Hal yang paling dalam proses belajar mengajar adalah melibatkan siswa secara aktif sejak awal proses belajar pada waktu pembelajaran terjadi karena transfer ilmu akan ditemukan sendiri oleh anak tersebut.

3.1.3 Interaksi social yang dialami siswa dengan orang lain, terutama dengan orang dewasa akan menimbulkan terjadinya ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pebelajar.

3.1.3 Alphabet Method dapat membantu siswa meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa inggris, karena pada proses pelaksanaannya melibatkan siswa secara langsung dengan pengalaman pribadinya.

3.1.5 Out put dari Alphabet Method lebih maksimal dalam hal meningkatkan penguasaan vocabulary siswa usia dini, karena selain siswa dapat mengingat kosa kata dengan cepat, siswa juga dilibatkan dengan interaksi sosial yang dapat membantu mengembangkan intelektual mereka.

3.1.6 Penilaian hasil belajar siswa lebih reliable, karena menngandung aspek-aspek authentic assessment yang menggambarkan hasil pembelajaran siswa, motivasi, kemajuan belajar, pemerolehan belajar, dan sikap-sikap terhadap kegiatan kelas bahasa inggris yang relevan dengan pembelajaran.

.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. 2009. Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa 2009. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta

E. Slavin, Robert. 2008. Cooperative Learning; Teori, Riset, dan Praktik. Nusa Media: Bandung.

Junaidi. 1995. Is Transformation Really Meaning Preservation? Comments on Transformational Grammar and Katz-Postal Hypothesis. Buana. 2(9): 41-46.

K.E Suyanto, Kasihani. 2007. English for Young Leaners. Bumi Aksara: Jakarta.

L. Silberman, Melvin. 2006. Active Learning; 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Nusa Media: Bandung.


View the original article here

Sabtu, 21 April 2012 0 komentar

Cover_edisi percobaan

Sorry, I could not read the content fromt this page.Sorry, I could not read the content fromt this page.

View the original article here

Jumat, 20 April 2012 0 komentar

Penyaluran Lewat Kantor Pos untuk Tekan Penyelewengan

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memastikan, Subsidi Siswa Miskin (SSM) akan disalurkan melalui kantor pos. Mekanisme itu berlaku untuk semua jenjang penerima SSM.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suyanto menjelaskan, mekanisme penyaluran SSM untuk jenjang SMP/SMA pada awalnya melalui sekolah. Kecuali pada jenjang SD yang langsung diberikan kepada siswa melalui kantor pos.

Akan tetapi, kata dia, mekanisme penyaluran SSM melalui sekolah (untuk SMP/SMA) dianggap tidak efektif dan cenderung memicu praktik penyelewengan. Inilah yang menjadi alasan mengapa selanjutnya SSM akan disalurkan kepada siswa melalui kantor pos.

"Semua akan melalui kantor pos," kata Suyanto kepada Kompas.com, Senin (12/3/2012), di Jakarta.

Suyanto memaparkan, penyaluran SSM melalui kantor pos dipilih karena beberapa alasan, yaitu aman dan mampu menekan timbulnya penyelewengan. Pada pelaksanaannya, setiap siswa berhak mengambil SSM di kantor pos dengan rekomendasi dari sekolah.

Untuk jenjang SD, unit cost SSM per siswa per tahun mencapai Rp 450 ribu, siswa jenjang SMP mencapai Ri 750 ribu, dan siswa jenjang SMA berkisar Rp 1 juta.

"Atas rekomendasi dari sekolah, penerima SSM takkan salah sasaran," ujarnya.

Seperti diberitakan, pemerintah menggelontorkan Rp 3,9 triliun untuk program SSM sebagai upaya menekan angka putus sekolah. Dengan anggaran tersebut, hingga saat ini telah berhasil menyentuh 14 persen jumlah siswa miskin di Indonesia.

Ke depan, melalui APBN Perubahan, jumlah tersebut akan ditambah Rp 2 triliun dengan target mampu menyentuh 23 persen siswa miskin di Indonesia sekaligus mengantisipasi imbas dari naiknya harga BBM.


View the original article here

Kamis, 19 April 2012 0 komentar

Tisnanta Lulus \"Cum Laude\" dari Program Doktor Undip

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com —  HS Tisnanta, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang juga dikenal sebagai Anggota demisioner Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji, lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor di Magister Hukum Universitas Dipenogoro, Senin (12/3/2012), di Semarang.

Bertindak sebagai salah satu pengujinya, adalah Ketua TGPF demisioner, Prof Denny Indrayana, yang juga Wakil Ketua Hukum dan HAM. Tisnanta menyampaikan disertasi berjudul Progresifitas Pembentukan Peraturan Daerah yang Berbasis Kesejahteraan Masyarakat (Perspektif Keberpihakan Pemerintah Daerah terhadap Masyarakat Miskin Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Pendidikan Dan Kesehatan).

Adapun bertindak sebagai promotory adalah Prof Arief Hidayat dan co- promotor Prof FX Sugiyanto, MS. Sementara, selain Denny Indrayana, tim penguji antara lain terdiri dari Prof Sudharto P Hadi, Prof Sunarso, dan Prof Yos Johan Utama.

Seperti disampaikan Oki Hajiansyah, mantan asisten Tisnanta di TGPF yang juga turut hadir di dalam ujian promosi dokter, disertasi Tisnanta ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari Deny Indrayana.

Dalam paparannya, Tisnanta mengungkapkan visi tertinggi sistem otonomi luas yang diatur UU Pemda adalah kesejahteraan rakyat yang diwujudkan melalui pelayanan. 

Produk hukum daerah (perda) merupakan kerangka legal agar pelayanan menjadi lebih tepat, dekat, dan cepat sehingga terjadi proses akselerasi pembangunan. Namun, fakta menunjukkan adanya "anak haram otonomi"  yaitu kemiskinan.

Perda sering kali tidak mengintegrasikan fakta sosial-ekonomi dengan ide keadilan yang berpihak kepada masyarakat miskin.

"Dibutuhkan landasan akademis dan landasan aksi sebagai terobosan pembentukan perda  yang progresif (yang pro poor), terutama untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Karakter progresif pembentukan perda tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara  melalui kebijakan welfare policy yang berlandaskan konstitusi. Menjadi kewajiban pemda untuk melakukan pemenuhan hak warga atas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang mempunyai karakteristik tersendiri," ungkap Tisnanta.


View the original article here

Rabu, 18 April 2012 0 komentar

Data Akurat Siswa Miskin Sulit Diperoleh

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengaku masih kesulitan memperoleh data akurat tentang jumlah siswa miskin di seluruh Indonesia. Maka, pemerintah daerah pun diimbau untuk membantu pendataan dengan menyajikan data siswa miskin yang berbasis nama dan alamat (by name by address).

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suyanto mengatakan, selama ini jumlah siswa miskin diperoleh berdasarkan data yang menjadi acuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Akan tetapi, data TNP2K dinilai belum cukup untuk dijadikan acuan pada program Subsidi Siswa Miskin (SSM).

"Kami ambil datanya dari TNP2K. Tapi belum cukup karena jumlahnya hanya ratusan ribu. Maka harus ada bantuan dari daerah," kata Suyanto kepada Kompas.com, Senin (12/3/2012), di Jakarta.

SSM akan diberikan kepada sekitar 14 juta siswa miskin. Jumlah tersebut berasal dari 11 juta siswa SD, dan 3,5 juta siswa jenjang SMP.

Dalam melaksanakan program SSM, Kemdikbud juga mengacu pada data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. Salah satu syarat memperoleh PKH adalah harus memiliki anak yang bersekolah.

Ke depannya, SSM akan menyentuh 23 persen jumlah siswa miskin di seluruh Indonesia. Melalui dana yang berasal dari APBN Perubahan,  setiap siwa akan memperoleh subsidi yang bervariasi tergantung jenjang pendidikannya.

Untuk jenjang SD, unit cost SSM per siswa per tahun mencapai Rp 450 ribu, siswa jenjang SMP mencapai Rp 750 ribu, dan siswa jenjang SMA berkisar di angka Rp 1 juta.


View the original article here

Selasa, 17 April 2012 0 komentar

Olah Masa Depan Semanis Roti "Esemka"

Siswa SMKN 1 Ciamis mengolah roti "Esemka" di dapur ruang praktik program keahlian tata boga.

Harum roti yang baru keluar dari alat pemanggang tercium di dapur ruang praktik program keahlian tata boga. Roti-roti dalam loyang yang sudah dingin satu per satu dimasukkan ke plastik kemasan berlabel Roti Esemka. Roti aneka rasa bertekstur lembut itu pun siap dipasarkan.

Memanggang minimal 100 roti setiap hari, bagi para siswa, tidak sulit. Siswa memakai oven tiga tingkat dan mikser yang mampu mengaduk tiga kilogram tepung terigu.

Meski sudah dilatih membuat roti sejak kelas X, Pipih Siti Sopiah dan Nur Maulidia (siswi kelas XI program keahlian tata boga) terkadang masih mendapati roti buatan mereka tidak mengembang dengan sempurna. ”Yang deg-degan kalau buat cake. Kalau mengaduknya salah atau terlalu banyak telur, bisa bantat (tidak mengembang),” kata Nur.

Karena itu, setiap siswa harus teliti memahami tahapan dan takaran bahan yang dibutuhkan. Pendampingan guru dan asisten khusus tata boga makin penting ketika siswa dilatih memodifikasi bentuk roti dan mengisi dengan selai cokelat, buah beri, keju, atau pisang.

Asisten operasional jasa boga, Kiki, menilai siswa masih kesulitan membuat roti manis (danish) karena belum menguasai teknik pembentukannya. ”Danish kebanyakan pakai mentega. Kalau membuat secara manual agak susah. Kalau pakai cetakan lebih mudah,” ujarnya.

Selain roti dan kue kering, kata guru tata boga, Ike Rahmawati, siswa juga bisa membuat makanan kecil tradisional, seperti carabikang dan apem mini. Demikian juga aneka minuman mulai es buah dan aneka jus hingga minuman panas seperti bajigur, sekoteng, bahkan Irish coffee.

Karena mempersiapkan tenaga siap pakai, sejak awal siswa dibiasakan memasak jenis makanan ”berat” tradisional dan kontinental untuk memenuhi kebutuhan hotel dan restoran. Menu mulai dari hidangan pembuka (appetizer) seperti salad, hidangan utama (main course) seperti steak, hingga penutup (dessert) seperti puding coklat, susu, atau stroberi, biasa diolah.

Proses sebelum memasak seperti belanja bahan pun diajarkan. Jika bahan yang dibutuhkan tidak ditemukan di Ciamis, terutama bahan masakan kontinental seperti daging impor untuk membuat steak, siswa akan mencari ke pasar atau pusat perbelanjaan yang lebih lengkap di Tasikmalaya. Siswa dilatih untuk efisien dalam penggunaan bahan.

Siswa juga diajari cara menata dan menghidangkan makanan, cara melayani tamu, serta etika di meja makan (table manner). ”Latihannya biasanya di hotel atau restoran yang menjadi mitra sekolah,” kata Kiki.

Standar industri

Sekolah menentukan roti sebagai keahlian wajib siswa, kata Ike, setelah mendapat bantuan peralatan seperti oven tiga tingkat, mikser besar dan kecil, mesin pembuat es krim, timbangan digital, dan loyang berbagai ukuran dari pemerintah.

Peralatan mendekati standar industri itu tak hanya digunakan untuk praktik siswa, tetapi juga dimanfaatkan untuk memberi pelatihan keterampilan hidup bagi masyarakat sekitar.

”Kami sering mengadakan pelatihan untuk masyarakat tidak mampu. Harapannya, produksi rumah tangga bisa berkembang,” kata Ike.

Kepala SMKN 1 Ciamis Hadi Sumantoro menjelaskan, roti Esemka sebagai mata pelajaran muatan lokal memang dimulai ketika ada bantuan pemerintah sekitar satu tahun lalu. Namun, pertimbangan awalnya karena produksi roti dinilai lebih mudah dan sederhana. Jika telah terampil, siswa bisa memulai usaha roti kecil-kecilan di rumah setelah lulus sekolah.

Dengan metode berbasis lini industri, siswa di sekolah yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 269, Kabupaten Ciamis, itu diharapkan tidak hanya lihai memasak, tetapi juga memasarkan produknya.

Setelah selesai memasak, siswa akan berkeliling ke kelas, sekolah lain, atau kantor terdekat untuk menawarkan produknya. Satu roti Esemka dijual dengan harga Rp 1.250. Yang paling laku roti cokelat dan roti pisang. Dari hasil penjualan, siswa berhak memperoleh Rp 100 per roti. Keuntungan dari total hasil penjualan digunakan untuk membeli bahan produksi. ”Agak sulit memasarkan produk siswa karena persaingan ketat dengan industri yang mapan. Siswa juga kadang-kadang kesulitan menghitung nilai jual produknya,” kata Ike.

Meski masih malu-malu, siswa didorong untuk percaya diri menawarkan produk ke konsumen. Hadi mengingatkan, memupuk jiwa kewirausahaan siswa jauh lebih penting ketimbang mengejar kuantitas penjualan. ”Yang penting keberanian siswa karena sudah mulai banyak pesanan roti Esemka dari sekolah lain atau kantor-kantor,” ujarnya.

Kebutuhan tinggi

Kebutuhan akan tenaga tata boga, baik sebagai pelayan maupun asisten koki, sangat tinggi. Setiap tahun, siswa tata boga selalu habis ”dipesan” industri di Jawa Barat, bahkan sebelum mereka lulus sekolah. Ketika liburan sekolah tiba, hampir semua siswa (dari 1.300 siswa, 90 siswa belajar di jurusan tata boga) diminta industri untuk membantu hotel, restoran, atau usaha katering yang menjadi mitra sekolah. Sayangnya, jumlah sumber daya manusia yang bisa disediakan sekolah relatif minim. Bahkan, belakangan ini industri gencar mencari tenaga tata boga laki-laki untuk menjadi asisten koki.

”Padahal, siswanya mayoritas perempuan. Yang laki-laki hanya ada satu dua. Biasanya industri membutuhkan laki-laki di dapur sebagai asisten koki karena alasan tenaga atau kondisi fisik yang lebih kuat. Kami belum bisa memenuhi itu,” kata Hadi.

Masih rendahnya jumlah siswa yang masuk ke tata boga, kata Hadi, antara lain karena ada persepsi bahwa tata boga tidak perlu dipelajari hingga bangku sekolah. Cukup masuk ke dapur di rumah, siswa sudah bisa memasak.

”Padahal, tata boga tak hanya mengajarkan memasak, tetapi juga manajemen restoran standar perhotelan. Kami tak hanya menghasilkan tukang masak, tetapi sampai level manajer dan koki kepala. Persepsi masyarakat ini yang sedang kami usahakan untuk diubah,” katanya.


View the original article here

 
;