Sabtu, 28 April 2012

Budaya Belajar Mandiri dan Pembelajaran Bahasa Inggris, Suatu Harapan dalam Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Oleh Konder Manurung (FKIP Universitas Tadulako Palu).

The present paper investigates whether autonomous learning can improve Indonesian learners’ proficiency in English. The favorable characteristics of autonomous learning are used as the basis for (1) arguing against the assumption that Asian learners are dependent on their teachers and (2) arguing for its adoption in improving Indonesian college graduates’ proficiency in English. The paper also discusses how to incorporate autonomous learning in a competency-based curriculum.

1 PENDAHULUAN

Isu yang berkembang dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah bahwa lulusan Perguruan Tinggi (PT) mempunyai kemampuan yang terbatas dalam berbahasa Inggris. Keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris lulusan PT dianggap sebagai akibat dari kurang berhasilnya pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah menengah, khususnya pada sekolah menengah negeri (Sadtono, dalam Grow 1987). Grow menandaskan bahwa ketidakberhasilan pengajaran bahasa Inggris pada sekolah menengah ini diakibatkan penekanan yang diberikan bukan pada fungsi komunikatif akan tetapi pada penguasaan struktur gramatikal dan membaca. Pemerintah Indonesia telah berusaha memperbaiki kualitas pembelajaran pada sekolah menengah dengan mengadakan perubahan pada kurikulum dan metode pengajaran dari mulai pendekatan konvensional hingga diterapkannya pendekatan komunikatif, kontekstual, dan saat ini kurikulum berbasis kompetensi. Untuk PT, selain mengadakan pergantian kurikulum, pemerintah juga perlu memberi perhatian terhadap perbaikan proses pengajaran bahasa Inggris. Salah satu cara yang dilakukan dalam rangka meningkatkan layanan dalam bahasa Inggris pada PT adalah lewat proyek yang dinamai “Asian Development Bank Higher Education Project (ADB HEP) Package-3 Language specialist.” Proyek ini ditangani oleh British Council-Jakarta dan berlangsung selama tiga tahun (1997-1999). Lewat proyek ini sebelas universitas di kawasan timur Indonesia mendapatkan seorang languagespecialist (Language Advisor). Proyek ini telah berhasil memperkenalkan sarana belajar mandiri pada paling sedikit sebelas PT yang termasuk dalam proyek ADB HEP Package-3. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah Apakah sistem belajar mandiri dapat diterapkan di negara Indonesia? Apakah pelajar Indonesia telah mengetahui strategi belajar yang efektif yang dapat digunakan dalam sarana belajar mandiri? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting karena pelajar di Indonesia telah terbiasa belajar di dalam kelas di mana seorang guru menyampaikan isi pelajaran dan bahkan seorang guru sering dianggap sebagai satu-satunya sumber pelajaran. Dengan kata lain, ketergantungan pelajar terhadap guru masih relatif tinggi.

2 SARANA BELAJAR MANDIRI

Sarana belajar mandiri atau yang lebih populer dengan sebutan Self-Access Centre (SAC) telah berhasil memasuki sistem pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. SAC didirikan untuk memungkinkan pelajar dapat belajar mandiri baik secara individu maupun berkelompok. Di dalam SAC pelajar dapat memilih sendiri materi pelajaran yang ingin didalami, materi yang dapat menunjang pemahaman terhadap

materi pelajaran pada saat tatap muka, dan materi yang tidak secara langsung memenuhi kebutuhan individu pelajar pada saat tatap muka. SAC dapat diterima dalam sistem pendidikan secara umum atas dasar bahwa pelajar adalah individu yang memiliki kebutuhan, minat, dan tipe yang berbeda-beda. Dasar ini telah dibuat sebagai acuan dalam pengembangan serta mendesain materi pelajaran yang digunakan di dalam SAC. Materi pelajaran dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna yang berbeda baik dari segi latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, cara belajar, dll. Lebih penting lagi bahwa materi pelajaran yang dikembangkan, baik latihan maupun aktifitas lainnya, disusun dan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara individu, dan pengguna dapat secara langsung mengukur tingkat keberhasilannya. Pengukuran dimaksud dapat dilakukan dengan membandingkan secara langsung hasil pekerjaan dengan kunci jawaban yang tersedia pada masing-masing latihan atau kegiatan.

Agar materi pelajaran dalam sarana belajar mandiri dapat berfungsi dengan efektif, Sheerin (1989) memberikan beberapa saran dalam pengembangan dan desain materi untuk digunakan di dalam SAC. Saran ini meliputi; 1) Tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas dalam materi yang dikembangkan atau didesain bermanfaat untuk memberikan gambaran yang jelas kepada pengguna, apakah materi tersebut dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak, 2) Instruksi yang jelas. Kejelasan dalam memformulasikan instruksi membantu pengguna materi di dalam SAC untuk memilih materi yang sesuai dengan tingkat pemahamannya. Instruksi yang jelas sebaiknya diikuti dengan contoh untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang latihan atau aktifitas yang dikerjakan, 3) Tampilan yang menarik. Materi yang dirancang untuk digunakan dalam SAC harus menarik. Tampilan materi sebaiknya dapat mengundang perhatian pengguna yang membangkitkan rasa percaya diri dalam menggunakannya, 4) Latihan/kegiatan yang bermanfaat. Latihan/kegiatan dalam SAC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna, 5) Prosedur. Prosedur dalam mengerjakan kegiatan yang dirancang harus mempertimbangkan bahwa sasaran dalam pengadaan SAC adalah untuk membiasakan pengguna lebih mandiri, dengan demikian ada baiknya diberi kesempatan kepada pengguna untuk menerapkan cara belajar sendiri, 6) Umpan balik. Pada saat belajar di dalam SAC, pada dasarnya guru tidak selalu berada di SAC. Oleh sebab itu, umpan balik sebaiknya terdapat dalam materi yang dirancang. Umpan balik dimaksud dapat berupa kunci jawaban terhadap kagiatan-kegiatan/latihan-latihan yang dirancang, sedangkan jika materi yang dirancang adalah untuk latihan mendengar maka transkrip/teks harus tersedia, 7) Materi yang seimbang. Dalam merencanakan materi harus dipertimbangkan keseimbangan terhadap materi, mulai dari tingkat kemampuan hingga kebutuhan pengguna. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa sebaik apapun materi yang telah direncanakan, apabila SAC diperkenalkan untuk pertama sekali, perlu ada sosialisasi dan pengenalan awal terhadap penggunaan materi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

3 TINJAUAN TERHADAP HASIL BEBERAPA STUDI IHWAL

SARANA BELAJAR MANDIRI

Ada anggapan yang mengatakan bahwa “pelajar Asia” sangat tergantung kepada “guru” (Liu, dalam Littlewood 2000). Ada kecenderungan menganggap guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Pendapat ini mengindikasikan bahwa akan sulit bagi pelajar Asia untuk belajar tanpa kehadiran seorang guru, yang berarti juga bahwa akan ada kesulitan dalam memperkenalkan sistem belajar mandiri kepada sekolah-sekolah di Asia. Littlewood (2000) secara tegas mengatakan bahwa berdasarkan data yang diperoleh lewat kuesioner yang dibagikan kepada pelajar di Asia dan Eropa, sesungguhnya pelajar Asia tidak ingin dimemeh. Littlewood menambahkan pelajar Asia juga mau mencari sendiri ilmu pengetahuan dan ingin juga mencari sendiri jawaban terhadap keingintahuan mereka. Hasil kuesioner ini didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di lingkungan Asia, khususnya pada institusi dimana sarana belajar mandiri telah ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelajar Asia juga dapat meningkatkan kemampuan dalam bahasa Inggris setelah belajar bahasa Inggris diintegrasikan dengan penggunaan sarana belajar mandiri secara efektif.

Keberhasilan penggunaan sarana belajar mandiri secara efektif sebagai pendukung proses belajar mengajar telah nyata di Asia dengan semakin banyak institusi pemerintah maupun swasta mendirikan sarana belajar mandiri. Dewasa ini sarana belajar mandiri telah ditemukan baik di lingkungan sekolah dasar, menengah, maupun PT di Asia (Lihat Miller dan Gardner 1999, dalam Establishing self-access centre: From theory to practice). Dalam buku ini Miller dan Gardner menggambarkan secara detail hasil studi kasus dalam

pengadaan sarana belajar mandiri mulai dari tingkat sekolah dasar hingga PT di Malaysia dan Hong Kong. Miller dan Gardner menandaskan secara umum bahwa tujuan pengadaan sarana belajar mandiri adalah untuk memberikan kesempatan belajar secara mandiri di samping tatap muka yang berlangsung di dalam kelas, dan membuat cara belajar bahasa Inggris lebih menarik. Lebih jauh dikatakan bahwa sarana belajar mandiri akan memotivasi minat belajar, memungkinkan pelajar belajar sesuai kemampuan dan minat tanpa ada unsur paksaan. Miller dan Gardner memberikan gambaran dalam bentuk studi kasus terhadap berdirinya SAC dari tingkat sekolah dasar hingga PT. Alasan pendirian SAC pada sekolah dasar adalah supaya pelajar dapat belajar sendiri di samping tatap muka di dalam kelas. Kegiatan belajar mandiri dianggap sebagai pelengkap terhadap tatap muka yang dilakukan di dalam kelas. Pada tingkat ini materi difokuskan pada pengadaan permainan dan gambar-gambar yang dapat memotivasi atau menarik perhatian pelajar. SAC digunakan setiap hari, dan pengajar membawa pelajar ke dalam SAC sesuai dengan jadwal pelajaran bahasa Inggris. Dengan menggunakan SAC secara reguler hubungan guru dengan pelajar semakin akrab dan dapat mempengaruhi cara belajar. Pada

tingkatan ini kontrak terhadap materi pelajaran sudah dilakukan, yakni kontrak per bulan. Dengan kontrak yang disepakati, guru dapat mengetahui materi yang diinginkan pelajar yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penyusunan materi untuk digunakan di SAC. Pada sekolah menengah SAC didirikan dengan tujuan untuk memberikan sumber belajar yang efektif dalam belajar bahasa Inggris serta memudahkan pelajar belajar sesuai dengan kemampuan dan minat dalam suasana yang lebih bebas. Di samping itu SAC juga bertujuan untuk memperkenalkan konsep belajar secara otomoni dalam meningkatkan profisiensi dalam bahasa Inggris. Pada tingkat PT, SAC bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan bahasa yang dituntut pada bidang ilmu yang ditekuni mahasiswa dan staf. SAC bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing mahasiswa yang ingin belajar secara fleksibel, baik untuk lebih mendalami bidang ilmu yang ditekuni yang menggunakan teks bahasa Inggris, maupun untuk meningkatkan keahliannya dalam berbahasa Inggris untuk tujuan tertentu, misalnya bagi staf yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa penelitian lain juga telah diadakan untuk mencoba melihat kontribusi yang diberikan SAC dalam belajar bahasa Inggris di Asia. Colley (1993) menggambarkan keberhasilannya dalam menerapkan “study guides” sebagai satu pendekatan dalam belajar di dalam sarana belajar mandiri pada universitas di Hong Kong, sementara Yeung dan Hyland (1999) menjadikan sarana belajar mandiri sebagai satu komponen dalam pengajaran bahasa Inggris. Kedua penelitian yang dilakukan di Hong Kong ini menegaskan bahwa dengan menggunakan sarana belajar mandiri sebagai supplemen terhadap tatap muka, kemampuan berbahasa Inggris pelajar meningkat. Hayward (dalam Gardner 1994) mengadakan penelitian secara lebih khusus terhadap kemampuan menulis dalam bahasa Inggris dengan menggunakan sarana belajar mandiri. Asumsi yang didasarkan pada penelitian ini adalah penutur asli Bahasa Inggris saja mengalami kesulitan menulis dalam bahasa Inggris, apalagi mereka yang bukan penutur asli. Hayward menyimpulkan bahwa penggunaan sarana belajar mandiri sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Kel dan Newton (1997) mencoba memperkenalkan SAC dengan mencobakan “pathways” dalam memotivasi pelajar untuk menggunakan SAC di Cina. Mereka mencobakan empat pathways yang diintegrasikan dengan pengajaran bahasa Inggris. Pada akhir penelitian mereka menyimpulkan bahwa pathways dapat memenuhi keinginan pelajar yang berbeda. Bagi pelajar dengan kemampuan rendah, pathways merupakan sebuah peta, bagi pelajar yang kurang percaya diri, pathways merupakan batu loncatan, dan bagi pelajar yang mampu, pathways menjadi penyegar dalam belajar bahasa Inggris. Yeung dan Hyland (1999), mencoba meneliti pengaruh penerapan SAC diintegrasikan dengan kegiatan pada proses belajar mengajar. Penelitian berlangsung selama satu semester dan dilanjutkan dengan interviu terhadap mahasiswa yang menggunakan SAC selama satu tahun setelah program penelitian selesai. Hasil interviu menunjukkan bahwa dengan belajar di SAC mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris umum (General English). Mahasiswa juga menyatakan bahwa materi pelajaran di SAC relatif lebih menarik dibandingkan materi pelajaran yang digunakan di dalam kelas, dan belajar di dalam SAC relatif lebih menarik dibandingkan dengan belajar di dalam kelas biasa.

Penelitian di dalam SAC juga sudah diadakan di tingkat PT di Indonesia pada pengajaran bahasa Inggris sebagai MKU (Manurung 2002). Pelaksanaan penelitian ini didasarkan pada dua temuan penelitian sebelumnya; pertama, yang menyatakan bahwa strategi belajar yang efektif dalam belajar bahasa dapat diajarkan kepada pelajar bahasa yang kurang berhasil (Oxford 1990), dan pelajar perlu mengetahui bagaimana cara belajar dengan melaksanakan pelatihan (Or 1994; Martyn 1994, dalam Yeung dan Hyland 1999), dan kedua, ditemukan beberapa strategi belajar bahasa Inggris yang efektif yang dilakukan mahasiswa ketika mempelajari bahasa Inggris pada salah satu pusat bahasa dalam lingkungan universitas di Indonesia (Setiyadi 1999). Sampel penelitian adalah 126 mahasiswa yang memprogramkan MKU bahasa Inggris. Mahasiswa dibagi ke dalam dua kelompok, satu kelompok dinamakan kelompok eksperimen dan yang satu lagi kelompok kontrol. Kepada kelompok eksprimen diperkenalkan strategi belajar yang efektif, setelah pretest diadakan, dengan menggunakan informed technique (Oxford 1990). Setelah strategi belajar diperkenalkan kepada kelompok eksperimen, kedua kelompok ditugaskan untuk belajar secara mandiri di dalam SAC selama 8 minggu. Pada akhir program keempat kemampuan berbahasa, mendengar, berbicara, membaca dan menulis diukur dengan menggunakan test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok eksperimen menunjukkan hasil yang lebih baik secara signifikan pada keempat kemampuan berbahasa. Dengan mengacu pada hasil beberapa penelitian seperti telah diutarakan di atas, maka jelas terlihat bahwa ada kontribusi positif dalam peningkatan kemampuan berbahasa jika sarana belajar mandiri digunakan dengan efektif sebagai komponen dalam proses pengajaran. Kemampuan ini dapat dilihat dari segi kebutuhan dan minat yang dimiliki pengguna. Dengan kata lain, pada saat berada di dalam SAC pada dasarnya pengguna memilih bahan yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhannya. Hal ini akan menyebabkan timbulnya motivasi untuk belajar, karena pengguna dapat menerapkan atau mengaplikasikan secara langsung apa yang telah dipelajari.

4 SARANA BELAJAR MANDIRI DAN PENERAPAN KBK

Salah satu yang menjadi dasar diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah bahwa pada akhir setiap pelajaran pelajar memiliki kompetensi, yang dapat diukur dengan kecakapan yang dimiliki setelah proses belajar mengajar berakhir. Jika dilihat kebijakan pemerintah Republik Indonesia lewat Departemen Pendidikan Nasional yang memberlakukan KBK sejak tahun 2004, maka sudah sebaiknya sarana belajar mandiri dijadikan satu komponen dalam pengajaran bahasa Inggris. Kompetensi dasar atau kecakapan yang dituntut akan bahasa Inggris atau kompetensi yang ditargetkan seperti yang diharapkan kurikulum KBK akan sulit tercapai jika jam tatap muka masih tetap dipertahankan seperti pada kurikulum sebelumnya. Dengan kata lain, jam tatap muka sudah sebaiknya ditambah. Namun hal ini akan menimbulkan masalah karena jam tatap muka telah diatur sesuai dengan mata pelajaran pada sekolah menengah dan berdasarkan jumlah kredit atau beban SKS pada PT.

Solusi alternatif yang dapat ditawarkan adalah mengintegrasikan sistem belajar mandiri pada proses belajar mengajar. Jika penilian akhir ditekankan sepenuhnya terhadap pencapaian kompetensi dasar bahasa Inggris atau kecapakan berbahasa Inggris, maka jam tatap muka yang saat ini sedang diberlakukan dalam lingkungan PT pada mata kuliah Bahasa Inggris sudah sebaiknya ditambah dengan mengefektifkan penggunaan sarana belajar mandiri dua hingga tiga jam per minggu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada dasarnya mahasiswa yang masuk PT kemampuan bahasa Inggrisnya cukup rendah. Jika sistem yang diterapkan pada KBK, yakni bahasa Inggris I (2 sks) dan Bahasa Inggris II (2 sks) dengan jumlah tatap muka antara 14 hingga 16 kali per 2 sks, maka hanya ada 28 hingga 32 kali tatap muka, dengan satu jam empat puluh menit per tatap muka, selama seorang mahasiswa duduk di bangku kuliah. Dengan waktu yang sesingkat ini, ditambah lagi banyaknya jumlah mahasiswa yang berada dalam satu kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung, maka akan sangat minim kecakapan yang diperoleh seorang mahasiswa pada saat tatap muka. Hal ini akan berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan pemahaman teks yang berbahasa Inggris pada bidang studi yang digelutinya dan terhadap kecakapan akan bahasa Inggris yang dituntut pasar kerja saat ini.

PENUTUP

Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dalam penerapan belajar secara mandiri di dalam sarana belajar mandiri, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun pada PT, pengenalan terhadap strategi belajar yang efektif, pengembangan materi dan kegiatan belajar, pengadaan alat bantu belajar, serta sistem evaluasi dan monitoring sebaiknya dilakukan sebelum menugaskan pelajar belajar mandiri. Lebih penting lagi bahwa pelajar sudah harus mengetahui konsep belajar mandiri, dan bahwa masing-masing pelajar sudah sebaiknya menyadari bahwa konsep saling membantu dalam belajar bahasa Inggris adalah yang menjadi pokok pada sarana belajar mandiri. Pengajar sebaiknya mengetahui perubahan fungsinya dari seorang guru pada saat tatap muka menjadi seorang fasilitator pada saat belajar secara mandiri di dalam sarana belajar mandiri. Untuk mengaktifkan pelajar menggunakan sarana belajar mandiri, tugas untuk dikerjakan di dalam sarana belajar mandiri harus diberikan pada saat tatap muka secara terprogram. Ada pendapat yang mengatakan bahwa belajar secara otonomi tidak cocok diterapkan untuk anak-anak, untuk mempelajari bahasa yang sulit, dalam institusi yang berorientasi pada ujian, dan orang dewasa yang tingkat pendidikannya rendah (Gremmo dan Riley 1995). Pendapat seperti ini sudah tidak up-todate lagi karena hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anakanak dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam bahasa asing dengan pendekatan learning to learn (Dam 1982, dalam Gremmo dan Riley 1995). Bahasa yang dianggap sulit juga telah dipelajari dengan menggunakan SAC di beberapa negara di Eropa, sebagai contoh 40 bahasa asing diajarkan dengan mengintegrasikannya dengan SAC pada Pusat bahasa Universitas Cambridge (Harding dan Tealby 1981). Penggunaan SAC juga telah diteliti pada institute yang berorientasi pada ujian. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan SAC, pelajar dapat meningkatkan capaian mereka pada ujian (Moulden 1983). Demikian juga halnya dengan pembelajaran bahasa kepada orang dewasa yang berpendidikan rendah, penggunaan SAC juga ditemukan memberikan kontribusi yang positif terhadap kemampuan berbahasa. Willing dan Race (1988) mengadakan penelitian terhadap pendatang di Australia yang berlatarbelakang pendidikan rendah (anak-anak kapal) dalam belajar bahasa Inggris dengan menggunakan SAC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan SAC secara efisien memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kemampuan berbahasa Inggris.

Untuk dapat menggunakan SAC secara efektif, untuk pendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan dalam penerapan KBK, sebaiknya pengajar bahasa Inggris dan pelajar terlebih dahulu diperkenalkan pada sistem belajar pada SAC. Dengan demikian, pengajar akan dapat mendesain dan mengembangkan materi SAC, serta mengetahui strategi-strategi belajar yang efektif. Untuk pelajar perlu diterapkan pendekatan learning to learn dengan mengintegrasikannya dalam proses belajar mengajar di dalam kelas atau dengan melakukan pelatihan khusus sebelum ditugaskan untuk menggunakan SAC. Pimpinan, pada tingkat sekolah dasar, menengah, dan PT sebaiknya menyadari bahwa sistem belajar apa pun yang diterapkan dalam proses belajar sudah sebaiknya ada alokasi dana untuk pengadaan sarana belajar mandiri serta fasilitas yang mendukungnya. Jika sistem life-long education ingin terwujud dalam masyarakat Indonesia, dasarnya harus ditanamkan sedini mungkin dengan menumbuhkembangkan kemauan belajar mandiri yang lebih popular dengan sebutan autonomous learning. .Jika kecakapan akan bahasa Inggris dituntut pada KBK, pelajar harus diperkenalkan dengan situasi dimana bahasa itu dapat digunakan. Penggunaan SAC yang efektif akan membantu penerapan bahasa sesuai konteks dan kebutuhan pengguna.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1990. “The teaching of English in Indonesia.” Dalam James Britton dan Ken Watson (peny.), Teaching and Learning of English Worldwide. Clevedon: Multilingual Matters Ltd.

Cooley, Linda. 1993. “Using study guides: An approach to self-access.” Hong Kong Papers in linguistics and language teaching. Language centre, University of Hong Kong.

Gardner, David dan Lindsay Miller. 1999. Establishing self-access: From theory to practice. Cambridge: CUP.

Gremmo, Marie-Jose dan Philip Roley. 1995. “Autonomy, self-direction and self-access in language teaching and learning: The history of an idea.”

System, Vol. 23, No. 2.

Grow, Janice. 1987. “A communicative Approach to language teaching for lecturers in Indonesia preparing to study abroad.” Guidelines, Vol. 9, No.2.

Harding, E., dan Tealby, A. 1981. “Counselling for language learning at the university of Cambridge.” Melanges Pedagogiques. CRAPEL, Universite Nancy.

Hayward, Kathy. 1994 “Self-access writing centre.” Dalam David Gardner (peny.), Direction in self-access language learning. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Kell, James dan Newton, Clive. 1997. “Roles of pathways in self-access centres.” ELT Journal, Vol.51, No. 1

Littlewood, William. 2000. “Do asian students really want to listen and obey?” ELT Journal, Vol.54, No.1.

Manurung, Konder. 2002. Maximizing the use of language learning strategies in self-access centres. La Trobe University-Victoria. Unpublished Ph.D thesis. Oxford, Rebecca. 1990. Learning strategies: What every teacher should know. Boston: Heinle & Heinle.

Race, E. 1985. Self-access at Royal Melbourne Institute of Technology. Melbourne: Royal Melbourne Institute of Technology.

Linguistik Indonesia, Tahun ke 24, No. 2, Agustus 2006

Setiyadi, A.Bambang. 1999. Survey on the learning strategies of EFL learner in tertiary education in Indonesia. La Trobe University-Victoria. Unpublished Doctoral Dissertation.

Sheerin, Susan. 1989. Self-access; Resource book for teachers. Oxford: OUP.

Sheerin, Susan. 1991.”Self-access.” Language Teaching Journal, Vol. 24.

Yeung, Lorrita dan Hyland, Fiona. 1999. “Bridging the gap: Utilising selfaccess as a course component.” A Journal of Language Teaching and research in Southeast Asia, Vol. 30, No. 1.

Waite, Sarah. 1994. “Low resourced self-access with EAP in the developing world: the great enabler?” ELT Journal, Vol. 48, No.3.

Willing, K. 1981. Teaching how to learn. Sydney: Macquire.


View the original article here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;